Opini
Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia?
Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 23 Tahun 2025 mempertegas kesenjangan tersebut.
Keadilan distributif yang ditulis oleh Mishchuk, H., Samoliuk, N., & Bilan, Y. (2019), keadilan sosial tidak dapat diukur semata dari status struktural.
Tetapi dari distribusi manfaat berdasarkan kontribusi dan kebutuhan.
Teori keadilan distributif Rawlsian menegaskan bahwa ketimpangan hanya dapat diterima jika memberi keuntungan bagi pihak yang paling kurang beruntung.
Namun, sistem pendidikan tinggi Indonesia justru menunjukkan kebalikannya, bahwa dosen swasta yang posisinya paling rentan tidak mendapatkan afirmasi kebijakan apapun.
Penelitian Wirosuharjo, K. (2015) dan Irawan, D. E., Purnomo, A., Sutiksno, D. U., Abraham, J., Alamsyah, A., Saputra, D. H., & Rosyidah, E. (2018) menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dosen PTS di Indonesia jauh sedikit dari total pendapatan dosen ASN, meskipun jam mengajar mereka lebih panjang dan publikasi ilmiah relatif sebanding.
Analisis Regulatif Permen No. 23 Tahun 2025
Rancangan Permenristekdikti No. 23 Tahun 2025 berfokus pada pemberian tunjangan kinerja bagi ASN di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Namun, dalam implementasi substansial, regulasi ini meneguhkan segregasi struktural antara ASN dan non-ASN.
Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa capaian kinerja dosen swasta tetap dilaporkan ke LLDIKTI, yang berada di bawah kementerian.
Artinya, negara tetap menuntut akuntabilitas dan kinerja dari dosen swasta, tetapi tidak memberikan hak dan insentif setara.
“Ini adalah bentuk kontradiksi regulatif,” ujar Kevin William Andri Siahaan, ASN dan peneliti BRIDA Kota Medan.
“Negara menuntut laporan kinerja dari dosen swasta, tapi tidak menanggung kesejahteraan mereka. Dalam teori kebijakan publik, ini disebut sebagai asymmetric accountability, yaitu tanggung jawab tinggi tanpa dukungan struktural.”
Studi Kasus
Di Universitas PGRI Sumatera Barat, dosen swasta dengan masa kerja lebih dari 10 tahun hanya menerima gaji pokok sekitar Rp 3–4 juta per bulan tanpa tunjangan penelitian.
Mereka tetap diwajibkan menulis publikasi ilmiah dan mengisi Sister Dikti sebagaimana ASN.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Ruben-Cornelius-Siagian-Peneliti-CITA.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.