Opini
Danantara Hianati Ekonomi Kerakyatan Soemitro
Dalam setiap kebijakan, ia menekankan bahwa pembangunan ekonomi harus berpijak pada keadilan sosial, pemerataan, dan partisipasi rakyat.
Dr. Muhammad Aras Prabowo – Ekonom UNUSIA
Ketika Danantara mengumumkan penerbitan surat utang senilai Rp50 triliun, publik mungkin melihatnya sebagai langkah ambisius dalam memperkuat kemandirian pembiayaan nasional.
Namun, di balik gemerlap jargon “Patriot Bond”, terselip paradoks besar: kebijakan yang diklaim untuk kemandirian ekonomi justru menjauh dari cita-cita ekonomi kerakyatan yang diwariskan oleh Soemitro Djojohadikusumo—Bapak Presiden Prabowo sendiri.
Soemitro adalah seorang pemikir ekonomi yang tidak sekadar bicara angka, tapi nilai. Dalam setiap kebijakan, ia menekankan bahwa pembangunan ekonomi harus berpijak pada keadilan sosial, pemerataan, dan partisipasi rakyat.
Baginya, negara tidak boleh menjadi sekadar penonton dalam arena pasar; negara harus menjadi pelindung, pengarah, dan penguat ekonomi rakyat. Itulah inti dari ekonomi kerakyatan—bukan sekadar pertumbuhan PDB, melainkan pertumbuhan yang memberi makna bagi petani, nelayan, buruh, dan pelaku usaha kecil.
Sayangnya, langkah Pandu Patria Sjahrir di Danantara justru menampilkan wajah teknokrasi yang steril dari semangat kerakyatan itu. Patriot Bond yang dijual dalam bentuk penempatan pribadi (private placement) dengan kupon rendah, hanya dapat dijangkau oleh investor besar. Ia bukan instrumen rakyat, melainkan instrumen korporasi.
Tidak ada ruang partisipasi masyarakat kecil, tidak ada mekanisme keberpihakan yang menjamin bahwa hasil dari penerbitan utang itu akan mengalir ke UMKM, koperasi, atau pembangunan sektor maritim dan agraria yang menjadi nadi ekonomi rakyat.
Di sinilah letak penghianatannya terhadap pemikiran Soemitro. Pandu tampak lebih sibuk menjaga persepsi pasar dan menjaga hubungan dengan investor besar ketimbang membangun pondasi ekonomi berdaulat.
Ia bermain aman di wilayah nyaman: stabilitas keuangan, bukan keberanian berpihak. Padahal, keberanian berpihak inilah yang menjadi esensi pemikiran ekonomi Soemitro, bahwa kedaulatan ekonomi tidak lahir dari ketenangan investor, melainkan dari kemampuan rakyat untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Sebagai seorang ekonom dan pengamat sosiologi ekonomi, saya melihat bahwa langkah Danantara ini adalah gejala klasik dari “defisit ideologi ekonomi”. Kita memiliki jargon ekonomi kerakyatan di tataran wacana, tetapi tidak ada roh kerakyatan dalam desain kebijakannya.
Ia tidak inovatif karena gagal membaca realitas sosial ekonomi rakyat; tidak berdaulat karena tunduk pada logika modal dan kepentingan pasar finansial global.
Dalam konteks ini, Pandu Patria Sjahrir telah memunggungi dua hal sekaligus: warisan pemikiran Soemitro dan semangat politik ekonomi Presiden Prabowo. Jika Soemitro hidup hari ini, mungkin ia akan menegur dengan tajam: “Untuk apa membangun obligasi besar, jika rakyat kecil tetap menjadi penonton?”
Kebijakan surat utang seharusnya menjadi alat membangkitkan ekonomi produktif rakyat, bukan sekadar instrumen investasi. Harus ada keberanian untuk menjadikan rakyat bukan hanya objek, tetapi subjek ekonomi. Itulah yang disebut Soemitro sebagai nation building through people’s economy — membangun bangsa dengan menguatkan rakyatnya.
Prabowo kini memikul tanggung jawab sejarah untuk menegakkan kembali ide besar ayahandanya: kedaulatan ekonomi berbasis rakyat. Dan untuk itu, diperlukan para teknokrat yang berjiwa nasionalis, bukan sekadar pemain pasar.
Jika Pandu Patria Sjahrir ingin disebut “Patriot”, maka ia harus berpihak pada rakyat, bukan pada pasar. Sebab ekonomi kerakyatan bukan tentang siapa yang punya uang, tetapi tentang siapa yang punya keberanian untuk memihak.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Intelektual-muda-NU-Muhammad-Aras-Prabowo.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.