Opini

Perokok Pemula dan Dilema Budaya

Hasil SKI 2023 juga menunjukkan bahwa 36,1 persen penduduk usia 10-24 tahun aktif merokok dengan rata-rata 8-12 batang per hari. 

Editor: Ilham Mulyawan
Ist/Tribun-Sulbar.com
Dwi Ardian, Statistisi di BPS Provinsi Sulawesi Barat 

Dwi Ardian
Statistisi BPS Provinsi Sulawesi Barat


TRIBUN-SULBAR.COM - Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 mengungkapkan tantangan besar Indonesia dalam pengendalian tembakau, ada dilema budaya yang sulit dipisahkan. 

Prevalensi merokok pada penduduk dewasa mencapai 33,5 persen, sementara Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan peningkatan signifikan perokok remaja usia 10-18 tahun dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen, bahkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan peningkatan menjadi 11,6 persen. 

Hasil SKI 2023 juga menunjukkan bahwa 36,1 persen penduduk usia 10-24 tahun aktif merokok dengan rata-rata 8-12 batang per hari. 

Di balik angka-angka statistik ini, tersembunyi realitas sosiokultural yang kompleks, di mana lembaga keagamaan seperti pesantren tradisional tertentu yang turut berkontribusi terhadap tingginya angka inisiasi merokok dini.

Pesantren, sebagai pusat pendidikan karakter, ternyata menyimpan kontradiksi dalam praktiknya. 

Di banyak pesantren tradisional tertentu, rokok sering kali menjadi "pengantar" dalam interaksi sosial antara santri dan kiai, serta menjadi bagian tak terpisahkan dari diskusi kitab kuning. Seorang kiai yang merokok dianggap wajar, dan pemberian rokok dari santri kepada kiai bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan (ta'dzim).

Dalam banyak komunitas tradisional Indonesia, rokok telah terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan sosial. 

Studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (2022) mengungkap bahwa dalam berbagai aktivitas komunal, rokok seringkali berperan sebagai "pemulus" interaksi sosial. Fenomena ini menciptakan lingkungan di mana merokok dipandang sebagai praktik yang wajar dan diterima secara kultural.

Menurut perspektif sosiologi, praktik-praktik semacam ini membentuk apa yang disebut sebagai "habitus", yakni kerangka perilaku yang terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai sosial yang berulang. Lingkungan yang menganggap merokok sebagai bagian dari tradisi secara tidak langsung menciptakan persepsi bahwa merokok merupakan tindakan normal dan bagian dari identitas kolektif.

Berbagai acara komunal dalam masyarakat Indonesia, seperti kenduri, arisan, atau pertemuan adat, sering kali menempatkan rokok sebagai salah satu elemen penting dalam tata kelola jamuan. 

Rokok yang diedarkan dalam nampan bukan sekadar barang konsumsi, melainkan simbol penghormatan dan perekat hubungan sosial.

Teori Pertukaran Sosial membantu memahami dinamika ini. 

Dalam acara komunal, terjadi pertukaran simbolis di mana tuan rumah menawarkan rokok sebagai bentuk penghormatan, sementara tamu menerimanya sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan. 

Bagi remaja yang baru pertama kali terlibat dalam tradisi semacam ini, tekanan sosial untuk berpartisipasi dalam "ritual" ini sangat besar, menciptakan momen inisiasi yang krusial.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Wajah Baru Pendidikan Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved