Opini
Keranjang Kuning dan Jiwa yang Kehilangan Arah
Ia telah beralih rupa menjadi gaya hidup yang melambangkan zaman: cepat, instan, dan penuh ilusi kebahagiaan.
Oleh karena itu, perlu ada refleksi utuh dan menyeluruh terhadap gaya hidup ini. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan diri terseret arus tanpa arah.
Perlu ada kesadaran kolektif bahwa keberlimpahan barang tidak sebanding dengan keberlimpahan makna. Kita bisa memulai dari hal sederhana: mengajukan pertanyaan sebelum membeli, “Apakah ini benar-benar kubutuhkan? Atau hanya ingin kupamerkan?”
Pendidikan digital juga perlu diperluas, bukan hanya dalam hal keterampilan teknis, tapi juga dalam kecerdasan emosional dan spiritual.
Belanja tidak perlu dihapuskan—tetapi harus ditata ulang dalam kerangka hidup yang lebih sadar. Pemerintah, akademisi, tokoh agama, dan influencer digital memiliki peran besar dalam membentuk narasi publik agar lebih bijak menghadapi tsunami konsumsi.
Kita pun bisa mengambil hikmah dari filosofi hidup lagom dari Swedia—yakni hidup dengan cukup.
Tidak terlalu sedikit, tidak terlalu banyak. Atau kita bisa belajar dari sufisme yang mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukanlah dalam kepemilikan barang, tetapi dalam kebeningan batin.
Keranjang kuning akan tetap ada, begitu pula kemajuan teknologi. Tetapi pilihan untuk menaruh apa di dalamnya adalah keputusan pribadi yang paling mendasar.
Jika kita tidak bisa mengendalikan keranjang kita sendiri, bagaimana mungkin kita berharap dunia ini akan berjalan lebih baik? Karena sejatinya, yang paling perlu kita isi bukanlah keranjang belanja, tetapi ruang batin yang makin lama makin sunyi.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Nur-Salim-Ismail-dok.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.