Opini
Keranjang Kuning dan Jiwa yang Kehilangan Arah
Ia telah beralih rupa menjadi gaya hidup yang melambangkan zaman: cepat, instan, dan penuh ilusi kebahagiaan.
Oleh: Nur Salim Ismail
Di ujung jari manusia modern, keranjang kuning senantiasa terbuka. Ia menanti diisi, digulirkan, dan diselesaikan dengan satu ketukan layar.
Fenomena belanja online yang kian menggila ini tidak lagi sekadar peristiwa pemenuhan kebutuhan.
Ia telah beralih rupa menjadi gaya hidup yang melambangkan zaman: cepat, instan, dan penuh ilusi kebahagiaan.
Namun di balik layar gawai yang bercahaya itu, sesungguhnya sedang berlangsung sesuatu yang lebih dalam, kita perlahan kehilangan arah, dan mungkin juga kehilangan makna.
Fenomena ini patut direnungkan lebih dalam. Apa yang melatarbelakangi lahirnya perilaku konsumtif yang masif ini? Bagaimana bisa kebutuhan manusia yang esensial berubah menjadi ajang memuaskan hasrat yang tak pernah selesai? Dan yang paling mengusik: seperti apa masa depan umat manusia jika tren ini terus berlanjut tanpa koreksi?
Budaya Belanja yang Membius
Belanja daring telah menjadi aktivitas harian sebagian besar masyarakat urban. Jam makan siang, jam pulang kantor, hingga tengah malam pun, manusia kini tenggelam dalam scrolling tak berujung.
Diskon kilat, gratis ongkir, dan "check-out sebelum jam 12 malam" menjadi mantra harian. Namun dari sekian banyak transaksi, berapa persen yang benar-benar dilandasi kebutuhan?
Apa yang tampak sebagai kemudahan, sesungguhnya adalah jebakan halus. Sistem algoritma platform belanja dirancang untuk menggerakkan psikologi manusia: dari rasa ingin tahu, berubah menjadi keinginan, dan akhirnya menjadi tindakan membeli.
Dalam proses ini, kesadaran perlahan tersisih. Yang tertinggal hanyalah impuls, dorongan sesaat, dan rasa puas semu yang segera memudar.
Dalam kerangka ini, pemikiran Jean Baudrillard menjadi sangat relevan. Filsuf postmodern asal Prancis itu menjelaskan bahwa masyarakat modern telah bergeser dari konsumsi atas kebutuhan menuju konsumsi atas simulacra, tanda-tanda atau citra yang tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi menciptakan realitasnya sendiri.
Produk tidak dibeli karena manfaat fungsional, tetapi karena simbol yang melekat padanya. Membeli sepatu bukan lagi demi kenyamanan kaki, tapi demi identitas. Check-out bukan lagi aktivitas ekonomi, tetapi bagian dari pencitraan eksistensial.
Belanja, dalam dunia Baudrillard, telah menjadi ritual konsumsi tanda. Kita tidak membeli barang, melainkan makna yang dibungkus dalam kemasan visual, testimoni selebgram, dan janji “limited edition.” Dalam dunia ini, kenyataan dan ilusi bercampur tanpa batas.
Keranjang kuning kita bukan hanya berisi barang, tetapi juga kebingungan identitas dan pencarian eksistensi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Nur-Salim-Ismail-dok.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.