Opini
Keranjang Kuning dan Jiwa yang Kehilangan Arah
Ia telah beralih rupa menjadi gaya hidup yang melambangkan zaman: cepat, instan, dan penuh ilusi kebahagiaan.
Keranjang sebagai Cermin Zaman
Dalam simbolisasi yang nyaris satir, keranjang kuning digital bisa dipandang sebagai cermin zaman kita.
Ia adalah lambang dari kekosongan batin yang dicoba ditutupi dengan barang. Kita ingin sesuatu yang baru, bukan karena kita kekurangan, melainkan karena kita tak tahu apa yang kita cari.
Di dunia yang kehilangan keintiman, kehilangan ruang jeda, dan kehilangan orientasi hidup, belanja menjadi pengganti spiritualitas.
Jean Baudrillard bahkan memperingatkan, dalam dunia simulasi ini, manusia kehilangan kapasitas membedakan antara “yang nyata” dan “yang semu.” Maka ketika kita melihat checkout success, yang kita rayakan bukan barang yang dibeli, melainkan sensasi bahwa kita hidup, aktif, dan terkoneksi.
Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah keterasingan yang makin dalam—dari tubuh kita, dari batin kita, bahkan dari satu sama lain.
Masa Depan yang Mengkhawatirkan
Pertanyaannya: ke mana semua ini akan bermuara? Jika konsumsi yang tidak terkendali ini terus berlangsung, bukan hanya individu yang tergerus, tapi juga struktur sosial dan ekologis.
Masyarakat akan makin terbelah antara mereka yang bisa mengikuti gaya hidup konsumtif, dan mereka yang tertinggal dalam ilusi kesejahteraan digital.
Ketimpangan akan semakin terasa, tidak hanya dalam akses, tetapi juga dalam cara manusia mengukur arti hidup.
Dari sisi lingkungan, dampak belanja online juga tidak sepele. Pengemasan berlebihan, peningkatan jejak karbon dari logistik, hingga limbah elektronik adalah bom waktu yang sedang menghitung mundur.
Kita membeli banyak hal, namun pada saat bersamaan turut menyumbang kerusakan bumi yang kita tinggali bersama.
Namun mungkin kerugian paling besar adalah kerusakan dalam cara manusia memahami kebahagiaan.
Kita menjadi bagian dari sistem yang menciptakan keinginan tanpa henti, agar kita terus mengkonsumsi, dan terus merasa tidak cukup. Jean Baudrillard menyebutnya “hiperrealitas”—dunia di mana simulasi kebahagiaan lebih kuat daripada kebahagiaan itu sendiri.
Saatnya Refleksi dan Penataan Ulang
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Nur-Salim-Ismail-dok.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.