Opini
Ferdi dan Getar Sosial Mandar
Masyarakat menunggu kepulangannya seperti menanti pahlawan pulang dari pertempuran.
Kini, bentuknya berubah. Yang disambut bukan lagi pemimpin perang, melainkan bintang dangdut.
Namun maknanya sama: penghormatan kepada sosok yang membawa kebanggaan.
Seseorang yang dianggap berhasil menembus batas — keluar dari kampung kecil, tampil di layar nasional, dan tetap menyebut asalnya dengan bangga.
Ferdi menjadi simbol identitas lokal yang hidup.
Ketika ia berdiri di panggung dan host berkata “ Ferdi Polewali Mandar”, seluruh warga merasa ikut tampil bersamanya.
Maka, penyambutan besar-besaran itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah manifestasi rasa terhubung antara individu dan komunitasnya.
Dalam istilah antropologi, ini bentuk komunitas imajiner — masyarakat merasa satu tubuh, satu kebanggaan, satu cerita.
Tradisi yang Bertransformasi
Kita sering menganggap hal seperti ini sekadar fanatisme. Padahal lebih dari itu.
Antropologi melihatnya sebagai transformasi budaya lokal dalam konteks modernitas.
Masyarakat Polewali Mandar dan Sulawesi Barat pada umumnya, masih mempertahankan pola lama: menyambut, menyanjung, dan merayakan.
Namun alatnya berubah — bukan lagi rabana atau kacaping Mandar, melainkan sound system dan kamera ponsel.
Bukan lagi lapangan adat, tapi jalan raya dan media sosial. Nilai yang dijaga tetap sama: rasa kita.
Kita yang satu kampung. Kita yang satu bahasa. Kita yang ikut bangga karena ada orang dari daerah kita tampil di layar TV nasional.
Dalam budaya lokal, kebanggaan semacam ini adalah bentuk maradeka — rasa kemerdekaan dari batas daerah, tapi tetap membawa identitas Mandar ke mana pun pergi.
Ferdi mungkin tidak sadar, tetapi kehadirannya menyalakan kembali semangat kolektif yang lama.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Hamzah-Durisa-Penggerak-GUSDURian-Senior-Majene.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.