Opini
Ferdi dan Getar Sosial Mandar
Masyarakat menunggu kepulangannya seperti menanti pahlawan pulang dari pertempuran.
Oleh: Hamzah Durisa
(Pegiat Literasi/Aktivis GUSDURian)
FERDI. Nama itu tiba-tiba memenuhi ruang obrolan di media sosial, di pasar, di sekolah-sekolah, bahkan mungkin di kantor-kantor. Ia bukan pejabat.
Bukan juga tokoh politik. Tapi ia membawa sesuatu yang tak kalah besar: kebanggaan daerah.
Ferdi adalah peserta Dangdut Academy 7 di Indosiar.
Ia mewakili Polewali Mandar, daerah kecil di pesisir Barat Sulawesi.
Dengan suara khas dan logat Mandarnya yang lembut, ia menembus sepuluh besar.
Sebuah pencapaian yang bagi warga, terasa seperti kemenangan bersama.
Ketika Ferdi akhirnya“tersenggol” dari ajang itu, tidak ada rasa kecewa berlebihan. Tersisih secara terhormat. Yang muncul justru euforia.
Masyarakat menunggu kepulangannya seperti menanti pahlawan pulang dari pertempuran.
Jalanan di Polewali berubah ramai. Sepanjang jalur protokol dari pusat kota hingga desa Lampoko, spanduk dan baliho bertuliskan “Selamat Datang Ferdi DA7, Solana Ferdi” menjadi hal yang familiar.
Musik lokal menggema. Anak-anak berlari membawa bendera kecildengan gambar Ferdi. Ibu-ibu berdandan rapi. Para remaja sibuk merekam suasana dengan ponsel.
Semuanya seperti tersusun dalam satu irama sosial yang tidak direncanakan, tapi penuh makna.
Sebuah Ritual Baru
Dari sisi antropologi, peristiwa ini dapat dibaca sebagai ritual penghormatan terhadap figur karismatik.
Dulu, masyarakat Mandar menyambut tokoh-tokoh besar — seperti pejuang atau pemimpin adat — dengan upacara, iringan musik dan bernuansa tradisional, dan doa bersama.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Hamzah-Durisa-Penggerak-GUSDURian-Senior-Majene.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.