Opini
Ferdi dan Getar Sosial Mandar
Masyarakat menunggu kepulangannya seperti menanti pahlawan pulang dari pertempuran.
Dalam dunia yang makin global, warga Polewali Mandar menemukan alasan untuk menatap layar televisi bersama, bersorak bersama, dan menyebut satu nama dengan penuh cinta.
Kebanggaan ini menjadi energi sosial. Anak-anak kecil mulai bermimpi: suatu hari nanti, mereka juga bisa tampil di panggung besar sambil berkata, “Saya dari Polewali Mandar.”
Di sinilah makna antropologinya paling dalam: identitas lokal yang terus diperbarui melalui simbol-simbol baru. Dulu lewat perang dan adat. Kini lewat panggung dan musik.
Namun, kebanggaan daerah bukan hanya lahir dari suara yang merdu. Ferdi telah menjadi simbol karena suaranya mampu menembus layar televisi nasional, tetapi cara membanggakan kampung halaman masih banyak pilihan bagi generasi muda yang lain.
Ada yang menyalurkan semangatnya lewat kaki yang lincah di lapangan bola.
Ketika mereka bermain untuk tim lokal, mencetak gol di turnamen antarprovinsi, atau bahkan menembus tim nasional, kebanggaan itu terasa sama. Di warung kopi, nama mereka dibicarakan dengan nada kagum.
Di sekolah, adik-adik mereka mulai menendang bola dengan lebih serius. Karena setiap prestasi di lapangan adalah bentuk lain dari cinta pada daerah — cinta yang diucapkan lewat keringat, bukan kata-kata.
Ada pula yang membanggakan daerah lewat tangan-tangan terampilnya.
Mereka yang memukul bola voli dengan keras, mengayun raket bulu tangkis dengan presisi, atau bahkan menorehkan prestasi dalam lomba seni dan kerajinan.
Setiap gerakan, setiap kemenangan kecil, adalah cara lain mengumandangkan nama kampung di pentas yang lebih luas.
Dan tentu saja, ada pula yang membanggakan Mandar lewat akal dan pikirannya.
Mereka yang juara olimpiade sains, menulis karya ilmiah, atau menjadi mahasiswa berprestasi.
Mereka tidak tampil di layar kaca, tapi di balik meja belajar mereka sedang menyiapkan masa depan Polewali Mandar dengan ilmu dan kecerdasan.
Ada juga yang menggetarkan hati orang lewat suara lantunan ayat suci. Para hafidz dan qori(ah) muda Mandar, yang membawa nama daerahnya dalam ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an, menorehkan prestasi bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan air mata haru dan doa.
Suara mereka mengingatkan bahwa kebanggaan sejati tidak selalu tentang popularitas, tapi tentang pengabdian dan keikhlasan. Jadi, Ferdi hanyalah satu bagian dari mozaik besar kebanggaan Mandar.
Jadi, harapannya kelak lahir ‘Ferdi-Ferdi’ yang lain dengan bakat yang lain pula.
Di setiap jalan kampung, di setiap ruang kelas, di setiap lapangan, ada anak-anak muda yang sedang berjuang dengan caranya sendiri.
Mereka semua — dengan kaki, tangan, suara, dan pikirannya — sedang menulis bab baru dari kisah Mandar yang tak pernah selesai: kisah tentang kerja keras, harga diri, dan cinta pada tanah kelahiran untuk menjadi kebanggan daearah yang tercinta, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Hamzah-Durisa-Penggerak-GUSDURian-Senior-Majene.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.