Opini

BUMN Perlu Reformasi Berkelanjutan

Paradoks efisiensi ini perlu dikritisi agar arah reformasi BUMN tidak kehilangan makna dan tujuan hakikinya.

Editor: Nurhadi Hasbi
Muhammad Aras Prabowo
INTELEKTRUAL MUDA NU - Intelektual muda NU Muhammad Aras Prabowo menilai kebijakan terbaru Bulog wajib membeli Gabah Kering Panen (GKP) petani dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa syarat kualitas adalah langkap positif. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani 

Oleh: Dr. Muhammad Aras Prabowo – Pengamat Ekonomi UNUSIA

Langkah pemerintah untuk mereformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari lebih dari seribu entitas menjadi sekitar dua ratus perusahaan merupakan langkah strategis dalam menciptakan tata kelola ekonomi yang lebih efisien.

Namun, kebijakan efisiensi ini justru menghadirkan paradoks di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, di mana di satu sisi ada semangat perampingan BUMN, namun di sisi lain kabinet justru membengkak dengan jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri yang lebih banyak dibanding periode sebelumnya.

Paradoks efisiensi ini perlu dikritisi agar arah reformasi BUMN tidak kehilangan makna dan tujuan hakikinya.

Baca juga: Danantara Hianati Ekonomi Kerakyatan Soemitro

Efisiensi bukanlah sekadar jargon manajerial, melainkan bagian dari desain besar kesejahteraan masyarakat. Dalam pandangan saya, efisiensi yang sejati harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pada perbaikan neraca keuangan perusahaan milik negara.

Jika efisiensi hanya dimaknai sebagai penghematan biaya tanpa memperhatikan dampak sosial, maka yang terjadi bukanlah perbaikan struktural, melainkan justru pemiskinan struktural terhadap tenaga kerja dan masyarakat yang bergantung pada peran BUMN.

Reformasi BUMN yang dilakukan saat ini berpotensi menjadi alat politik dan populisme ekonomi jika tidak diletakkan dalam kerangka keberlanjutan. Reformasi sejatinya tidak boleh berhenti pada pencitraan atau simbol efisiensi administratif.

Ia harus menjadi proses transformasi yang berkelanjutan – membangun tata kelola profesional, memperkuat transparansi, dan memastikan bahwa setiap langkah restrukturisasi berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat luas.

Namun, perlu diingat bahwa di balik proses reformasi selalu ada risiko sosial yang harus diantisipasi, terutama potensi munculnya pengangguran baru akibat perampingan struktur organisasi BUMN.

Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan bisa menjadi beban sosial baru jika pemerintah tidak menyiapkan strategi transisi yang matang. 

Oleh karena itu, reformasi BUMN harus disertai dengan kebijakan reskilling dan upskilling tenaga kerja, serta penciptaan lapangan kerja baru di sektor produktif, bukan sekadar memindahkan beban ke sektor informal.

BUMN, dalam sejarahnya, bukan hanya entitas bisnis negara. Ia adalah pilar ekonomi nasional yang memiliki fungsi ganda: sebagai penggerak ekonomi dan sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan.

Karena itu, setiap kebijakan reformasi BUMN harus menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai orientasi utama, bukan keuntungan korporasi semata. BUMN tidak boleh berubah menjadi arena elit ekonomi dan politik yang berjarak dari rakyatnya.

Lebih jauh, reformasi BUMN perlu berpijak pada prinsip ekonomi kerakyatan sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD 1945. BUMN harus menjadi instrumen untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional, bukan sekadar meniru praktik korporatisasi Barat yang berorientasi profit.

Ekonomi kerakyatan menekankan distribusi keadilan dan keseimbangan antara kepentingan negara, pasar, dan rakyat.

Baca juga: Ekonom UNUSIA Ingatkan Menkeu Fokus Kawal Kebijakan

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Perokok Pemula dan Dilema Budaya

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved