Opini
Manusia Modern, Tuhan yang Lelah, dan Derita dari Dalam
Akumulasi pergulatan kehidupan ini memerlukan pendekatan lintas perspektif untuk meretas “derita dari dalam” ini.
Oleh: Nur Salim Ismail
Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi dan modernisasi, manusia kini hidup dalam tempo yang sangat cepat dan tuntutan yang semakin tinggi. Di satu sisi, pencapaian-pencapaian baru telah membuka peluang luas; di sisi lain, ada gelombang kelelahan yang menyelimuti jiwa manusia modern. Kelelahan ini bukan hanya soal fisik, tetapi terutama kelelahan batin yang membuat manusia merasa terasing, kehilangan makna, bahkan terjebak dalam penderitaan yang dalam.
Dalam banyak kajian psikologi, kelelahan batin dan stres kronis ini disebut sebagai burnout — kondisi kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Menurut data WHO (2023), lebih dari 300 juta orang di dunia mengalami depresi dan kecemasan, yang erat kaitannya dengan gaya hidup dan tekanan mental modern. Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat 6,1 persen penduduk dewasa mengalami depresi, dan angka ini diperkirakan meningkat seiring dinamika sosial yang makin kompleks.
Akumulasi pergulatan kehidupan ini memerlukan pendekatan lintas perspektif untuk meretas “derita dari dalam” ini.
Mengelola Jiwa
Filsafat Yunani kuno dari aliran Stoikisme mengajarkan prinsip fundamental bahwa penderitaan muncul bukan dari peristiwa eksternal, melainkan dari bagaimana kita menilai dan meresponsnya. Marcus Aurelius, sang Kaisar-Filosof, menulis dalam Meditations, “Bukan hal itu sendiri yang mengganggumu, melainkan pendapatmu tentang hal itu.” Artinya, kendali terbesar atas kebahagiaan dan ketenangan batin ada di tangan kita sendiri, lewat pengelolaan sikap dan persepsi.
Dalam kehidupan modern yang penuh ketidakpastian, prinsip Stoik mengajarkan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa diubah dengan lapang dada dan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, seperti sikap dan tindakan kita sendiri. Namun, tantangan terbesar adalah bahwa tekanan luar sering begitu kuat sehingga mengaburkan kesadaran. Akhirnya, kita larut dalam kekhawatiran yang tak berujung.
Sementara itu, Epikurianisme menekankan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam kesederhanaan dan pemenuhan kebutuhan yang alami dan esensial. Epikurus mengajarkan agar kita membedakan antara keinginan yang alami dan perlu, dengan keinginan yang dibuat-buat oleh pengaruh sosial dan budaya konsumtif. Dalam dunia modern yang penuh dengan iklan dan persaingan tanpa henti, mudah sekali terjebak dalam mengejar “lebih” yang malah menimbulkan kehampaan batin.
Menurut survei American Psychological Association tahun 2022, 65 persen orang dewasa Amerika melaporkan stres yang signifikan dalam hidup sehari-hari mereka, dan salah satu penyebab utama adalah tekanan sosial untuk memenuhi standar kesuksesan yang terus naik. Hal ini mencerminkan bagaimana keinginan yang tak terkendali berpotensi menimbulkan penderitaan.
Bagaimana Melihat Derita
Dari sisi psikologi, tekanan kronis yang berkepanjangan menghasilkan gangguan mental yang nyata, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Dr. Christina Maslach, yang mempopulerkan konsep burnout, menyatakan bahwa manusia butuh tiga kebutuhan psikologis utama: keterhubungan (relatedness), kompetensi (competence), dan otonomi (autonomy). Ketika ketiganya terabaikan dalam jangka panjang, manusia menjadi rentan terhadap stres dan kelelahan batin.
Di era digital, media sosial juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi memberi ragam akses koneksi, tapi di sisi lain memunculkan perbandingan sosial yang intens dan kecemasan eksistensial. Studi Universitas Pennsylvania tahun 2018 menunjukkan bahwa pembatasan penggunaan media sosial selama tiga pekan dapat menurunkan tingkat kecemasan dan depresi pada partisipan.
Lebih jauh lagi, psikologi positif menawarkan pendekatan pemulihan melalui mindfulness, yaitu kesadaran penuh terhadap saat ini tanpa penilaian, yang dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesejahteraan batin. Metode ini sangat paralel dengan praktik-praktik tasawuf.
Dimensi Spiritualitas
Dalam perspektif Tasawuf, dimensi spiritual yang penting dalam memahami penderitaan manusia. Tasawuf mengajukan konsep tawakkal (berserah diri) dan ridha (keridhaan) sebagai sikap menerima takdir dengan kesadaran penuh dan ketenangan. Dalam kajian ini, penderitaan bukan semata sebuah beban negatif, melainkan bagian dari proses pembersihan jiwa dan perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Ketua-LDNU-Sulawesi-Barat-Dr-Nur-Salim-Ismail.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.