Opini

Manusia Modern, Tuhan yang Lelah, dan Derita dari Dalam

Akumulasi pergulatan kehidupan ini memerlukan pendekatan lintas perspektif untuk meretas “derita dari dalam” ini.

Editor: Nurhadi Hasbi
istimewa
Ketua LDNU Sulawesi Barat Dr Nur Salim Ismail 

Rasa sakit dan kesulitan dipahami sebagai ujian yang menguatkan hati dan membuka ruang bagi pertumbuhan spiritual. Melalui kesulitan jiwa, bagi Ibnu Arabi, menjadi lebih peka dan mampu mengenal hakikat diri yang sejati. Oleh karena itu, kelelahan batin modern dapat dilihat sebagai panggilan untuk berhenti sejenak, merenung, dan memperbaiki hubungan dengan diri, sesama, dan Sang Pencipta.

Jalan Tengah Kebijaksanaan

Menghadapi realitas ini, manusia modern harus berani mengambil langkah berani: menurunkan tuntutan tak realistis, mempraktikkan kesederhanaan ala Epikurus, dan menguatkan kesadaran diri ala Stoik. Selain itu, dibutuhkan pemahaman spiritual dan penghayatan tasawuf untuk mengisi kekosongan batin yang kerap tidak tersentuh oleh pendekatan duniawi.

Sejumlah komunitas dan organisasi kesehatan mental kini mulai mengintegrasikan praktik mindfulness, terapi berbasis kesadaran spiritual, dan penguatan nilai-nilai religius untuk membantu individu menghadapi kelelahan batin. Di Indonesia, sejumlah pesantren modern pun mengajarkan metode tasawuf bersama dengan pendekatan psikologi kontemporer sebagai upaya mendampingi santri dan masyarakat menghadapi tekanan zaman.

Maka, menjadi “Tuhan yang lelah” adalah metafora tajam bagi kondisi manusia modern yang mengemban beban besar tanpa jeda dan refleksi. Namun, kelelahan ini juga sinyal bahwa jiwa perlu perhatian lebih dalam, pemahaman yang menyeluruh, dan langkah-langkah yang terintegrasi untuk pemulihan.

Dalam perjalanan ini, filosofi Stoik mengingatkan kita agar fokus pada yang dapat dikendalikan, dan Epikurus mengajak menata ulang keinginan agar bahagia tak didikte oleh gerombolan hawa nafsu. Psikologi menawarkan alat untuk menjaga kesehatan mental, dan tasawuf membuka jalan menuju ketenangan batin melalui penyerahan dan keridhaan.

Di tengah dunia yang terus bergerak dan berubah, mari kita belajar menjadi “Tuhan yang berhenti sejenak” untuk bernafas, merenung, dan menemukan kembali arti hidup yang penuh kedamaian dari dalam diri sendiri.(*)

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved