Opini
Tidak Tabu Menghitung Upah Guru
Permasalahan kelayakan gaji guru bukanlah hal baru namun senantiasa up to date untuk dicermati walaupun berakhir basa basi.
Kisah upah guru merupakan epos abadi serba tidak pasti dan mencuat tanpa ada solusi tepat.
Pengeluaran beragam kebijakan diiktiarkan untuk peningkatan kesejahteraan hasilnya masih belum menggembirakan.
Carut marut penyikapan Guru honorer ini tidak lepas dari kondisi masih adanya penyikapan serba njomplang pada korps pendidik ini.
Layaknya mobil Guru honorer tidak ubahnya “bemper” pendidikan manakala permasalahan kesejahteraan ini mengemuka.
Ambigiutas peran menjadi pintu masuknya, mempersepsikan sebagai Tenaga kerja guru honorer tidak termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sementara manakala dipersepsikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru honorer tidak bisa diakmodir mengingat UU tersebut hanyalah mengatur Guru ASN dan Guru Tetap Ketidak jelasan pola kepegawaian dan Ketidakberimbangan pensejahteraan guru hingga menumbuhkan apatisme dikalangan guru honorer untuk memperbaiki kesejahteraan.
Kontradiksi profesi
Pembahasan kesejahteraan dikalangan guru menyisakan beragam penyikapan. Disatu sisi Guru ASN dikaruniai kesejahteraan serba spektakuler disisi lain guru honorer senantiasa ngiler terhadap kondisi serba tidak imbang.
Tupoksi boleh sama namun kesejahteraan sangat berbeda. Kondisi ini diperparah dengan minimnya keberpihakan pada guru swasta.
Efek domino sertifikasi guru pun tak pelak menjadi sarana marginalisasi bagi honorer , ketentuan guru profesional untuk mengajar 24 jam/minggu hingga kebijakan beban kerja guru selama 40jam/minggu secara tidak langsung berpengaruh bagi guru honorer.
Kondisi dilapangan menunjukkan diterapkannya besaran jam mengajar bagi guru profesional ditafsirkan dengan memotong jam mengajar guru honorer karena guru profesional sangat membutuhkan jam mengajar sehingga langkah praktisnya mengurangi jam mengajar guru honorer .
Pemotongan jam mengajar ini tidak ubahnya kanibalisasi profesi, mengingat sistem penggajiannya diperoleh dari besaran jam mengajar perminggu.
Permasalahan honorer selama ini secara tidak langsung bermuara pada adanya diskriminasi profesi berbasis penghasilan.
Fenomena ini muncul dari belum adanya standarisasi gaji. Dibalik hiruk pikuk penetapan UMK (Upah Minimum Kabupaten/kota), honorer patut mengelus dada.
Bagaimana mungkin seorang guru yang menjalankan amanah mencerdaskan anak bangsa tingkat penghasilannya dibawah pekerja yang menghadapi mesin.
Bukannya merendahkan profesi buruh pabrik, namun logika yang berkembang, jika untuk pekerja yang menghadapi mesin pemerintah mau membuka mata namun mengapa bagi pekerja yang menghadapi siswa dengan tingkat dinamisasi beragam penghargaannya masih memprihatinkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.