Berita Sulbar

APSP Laporkan 4 Perusahaan Sawit ke Kejati Sulbar atas Dugaan Korupsi dan Pelanggaran Lahan

Laporan ini mencakup empat perusahaan, yang masih dalam satu payung perusahaan besar beroperasi di Sulawesi Barat.

Penulis: Andika Firdaus | Editor: Nurhadi Hasbi
Istimewa
DUGAAN KORUPSI – Hasri saat melapor ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Kamis (5/6/2025). Laporan tersebut mencakup dugaan pelanggaran oleh empat perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu. 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU – Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu (APSP), melalui kuasa hukumnya Hasri, S.M., M.H., melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan empat perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulbar, Kamis (5/6/2025).

Laporan ini mencakup empat perusahaan, yang masih dalam satu payung perusahaan besar beroperasi di Sulawesi Barat.

Sebelumnya, laporan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Perkebunan ini juga telah dilayangkan ke Polda Sulbar.

Menurut Hasri, laporan tersebut disusun berdasarkan pengumpulan data lapangan, pengakuan masyarakat, serta temuan pelanggaran administratif dan substantif yang dinilai merugikan negara.

“Ada sekitar 50 lembar bukti yang kami serahkan ke Kejati sebagai bukti permulaan. Jika dibutuhkan tambahan bukti, kami siap menyediakannya, termasuk saksi-saksi,” ujar Hasri saat ditemui di Kantor Kejati Sulbar.

Baca juga: Yani Tegaskan Sporadik di Desa Jengeng Tak Bisa Diprotes PT Letawa, Itu di Luar HGU

Baca juga: Lestarikan Budaya Suku Kaili, Mamuang Anak Usaha Astra Agro Dukung Upacara Adat Vunja

Berbagai Dugaan Pelanggaran

Hasri mengungkapkan, keempat perusahaan tersebut diduga terlibat dalam sejumlah praktik melanggar hukum dan merugikan negara maupun masyarakat.

“Dugaan pelanggaran meliputi penguasaan lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU), perambahan hutan lindung, penguasaan lahan masyarakat, penghindaran pajak, pelanggaran tata ruang dan izin lingkungan, penggelapan kewajiban plasma, hingga dugaan korupsi dana CSR,” jelasnya.

PT Letawa

Perusahaan ini dilaporkan atas dugaan penguasaan lahan di luar HGU dan penghindaran pajak.

Sejak 1997, PT Letawa diduga mengelola sekitar ±621,08 hektar lahan di luar HGU No. 010 tanpa pembayaran pajak yang semestinya, yang berpotensi melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Perusahaan ini juga diduga melakukan perambahan kawasan hutan lindung seluas ±42 hektar di Afdeling Mike, dalam wilayah kerja HGU No. 014 dan 015 (tahun 2013). 
Dugaan ini melanggar UU Kehutanan dan dinilai merugikan negara dari aspek ekologis dan fiskal.

PT Mamuang

Diduga menguasai ±917 hektar lahan masyarakat berdasarkan HGU No. 012 Tahun 1997, tanpa dasar hak yang sah.

Selain itu, praktik ini juga disertai dengan dugaan penghindaran pajak.

“Praktik ini menghilangkan hak agraria masyarakat dan merugikan negara dari sisi pendapatan pajak,” ungkap Hasri.

PT Pasangkayu

Perusahaan ini dilaporkan atas dugaan perambahan hutan lindung seluas ±580 hektar di wilayah Afdeling Alfa, Brafo, dan India, dalam area HGU No. 011 Tahun 1997.

“Ini bentuk eksploitasi sumber daya alam negara secara melawan hukum,” ujarnya.

PT Lestari Tani Teladan (LTT)

Diduga melakukan pelanggaran tata ruang dan izin lingkungan dengan beroperasi lintas provinsi tanpa legalitas sah, baik dalam bentuk perizinan maupun dokumen AMDAL.

“Pelanggaran ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dapat dikualifikasi sebagai kejahatan korupsi ekologis,” jelasnya.

Kewajiban Plasma dan Dana CSR

Hasri juga menyoroti dugaan penggelapan kewajiban plasma oleh seluruh perusahaan tersebut.

Mereka diduga tidak memenuhi kewajiban penyediaan kebun plasma sebesar 20 persen kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Perkebunan.

“Ini merugikan masyarakat secara sistematis dan melanggar prinsip keadilan distribusi hasil perkebunan,” katanya.

Selain itu, terdapat dugaan penyalahgunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

“Hasil penelusuran kami di lapangan menunjukkan tidak ada transparansi atau pelaporan atas pelaksanaan program CSR. Dana yang seharusnya disalurkan untuk kepentingan sosial justru diduga dialihkan untuk promosi sepihak,” ujarnya.

Hasri menegaskan, praktik semacam itu bisa dikualifikasi sebagai penyalahgunaan dana CSR untuk memperkaya korporasi, dengan mengabaikan hak masyarakat terdampak.

Harapan Penegakan Hukum

Hasri berharap Kejati Sulbar menindaklanjuti laporan ini secara serius, untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan bagi masyarakat.(*)

Laporan Wartawan Tribun-Sulbar.com, Andika Firdaus

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved