Opini
Melepaskan yang Terindah
Idul Adha menjadi momentum penting untuk melatih jiwa agar mampu merelakan keterikatan yang berlebihan
(Pesan Reflektif Hari Raya Idul Adha)
Oleh: Nur Salim Ismail
TRIBUN-SULBAR.COM - Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai sosok yang penuh keteguhan iman. Ketika diperintahkan untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail, ia bukan hanya menghadapi dilema emosional yang sangat berat. Tetapi juga mengemban ujian tertinggi tentang ketaatan dan penyerahan diri. Ia mengajarkan bahwa pengorbanan sejati, bukanlah kehilangan yang sia-sia. Melainkan pelepasan penuh makna—melepaskan ego, hasrat, dan rasa memiliki demi ridha Tuhan.
Dalam sudut pandang filsafat Epikurus, kebahagiaan sejati tidak terletak pada kepemilikan yang mengikat, tetapi pada pembebasan dari keinginan dan kegelisahan. Epikurus mengatakan: "Tidak ada yang lebih berharga daripada ketenangan jiwa (ataraxia) dan ketiadaan rasa sakit (aponia)."
Maka, sejarah pengorbanan Ibrahim dapat dipahami sebagai pengorbanan terhadap ego dan nafsu demi mencapai ketenangan batin yang hakiki.
Sedangkan filsafat Stoik mengajarkan ketabahan dan pengendalian diri dalam menghadapi ketidakpastian dan penderitaan yang berada di luar kendali manusia. Epiktetus, seorang filsuf Stoik, mengingatkan: "Bukan hal-hal itu sendiri yang mengganggu manusia, melainkan pandangan mereka tentang hal-hal itu."
Sosok Ibrahim adalah manifestasi Stoikisme yang patut diteladani, yang menerima takdir dengan lapang dada tanpa kehilangan kendali atas jiwa dan emosi. Dalam pandangan Psikologi modern, menempatkan proses ‘letting go’ atau melepaskan sebagai kunci penyembuhan psikologis. Rasa kehilangan, khususnya atas sesuatu yang kita anggap sangat berharga, menimbulkan luka batin yang mendalam. Namun, melalui proses melepaskan dengan ikhlas, terjadi transformasi psikologis yang membawa kedamaian dan kekuatan baru.
Idul Adha menjadi momentum penting untuk melatih jiwa agar mampu merelakan keterikatan yang berlebihan. Dalam dunia yang semakin konsumeristik dan individualistik, keterikatan yang kuat pada materi dan ego dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan konflik batin. Itu sebabnya, konteks pengorbanan dalam ibadah qurban mengingatkan kita untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan spiritual, mengasah kemampuan empati, serta menumbuhkan sikap rendah hati.
Dalam psikologi positif, kemampuan melepaskan juga dikaitkan dengan ketahanan psikologis (resilience). Dalam artian bahwa Individu yang mampu menerima dan melepaskan hal-hal yang tak dapat dikendalikan, justru lebih tangguh menghadapi rintangan hidup. Qurban menjadi latihan spiritual dan psikologis sekaligus. Tujuannya, untuk membentuk karakter kuat dan jiwa lapang yang mampu menerima segala ketentuan Tuhan.
Dalam perspektif tasawuf, qurban adalah simbol dari proses ‘fana’, pemusnahan diri dan ego agar manusia dapat menyatu dengan Sang Pencipta. Nabi Ibrahim melambangkan hamba yang telah melampaui keakuan, meleburkan segala kepemilikan dan keinginan pribadi demi menjalankan perintah ilahi.
Ibnu Arabi, tokoh besar sufisme, menyatakan: "Barangsiapa yang fana di dalam Tuhan, maka ia merdeka dari segala ikatan duniawi." Melepaskan yang terindah, bukan berarti kehilangan semata, melainkan pembersihan jiwa dari penyakit hati seperti tamak, sombong, dan ragu.
Metafora Kesabaran
Ujian kesabaran tak berjaldan pada diri seorang Ibrahim semata. Kisah Istrinya, Hajar, yang berlari di padang pasir tandus untuk mencari air adalah metafora kesabaran dan tawakal yang luar biasa. Dari keputusasaan, lahirlah mukjizat—sumur Zamzam, yang menjadi oase kehidupan dan simbol rahmat Allah yang tak terhingga.
Sedangkan Ismail, anak yang rela menjadi kurban, menggambarkan ketundukan dan kesiapan jiwa menerima apa pun ketetapan Tuhan dengan penuh cinta dan lapang dada. Ini adalah model ketaatan yang melampaui pemahaman lembaran rasionalitas, sebuah pelajaran luhur bagi manusia agar menjadi insan yang sepenuhnya berserah dan sadar akan keterbatasan dirinya.
Lebih dari sekadar ritual tahunan, Idul Adha mengandung pesan yang mendalam untuk kehidupan sehari-hari. Pengorbanan yang diajarkan Ibrahim dan keluarganya menuntun kita agar berani melepas keterikatan yang merugikan dan mengutamakan nilai-nilai keikhlasan, keadilan, dan kasih sayang.
Marcus Aurelius, Kaisar dan filsuf Stoik, menulis dalam Meditations: "Janganlah membiarkan masa depan mengganggu pikiranmu. Kamu akan menghadapinya, jika perlu, dengan alat yang diberikan oleh akal sehat dan kebajikan." Dalam konteks sosial, semangat qurban mengajarkan pentingnya solidaritas dan berbagi. Dalam dunia yang kerap dibelit ketimpangan, pengorbanan material menjadi bentuk konkret dari kepedulian sosial.
Secara psikologis, qurban adalah sarana menumbuhkan kesadaran diri, mengasah empati, dan menguatkan kontrol diri. Kita diajak refleksi untuk memeriksa apa yang paling berharga dalam hidup, serta menguji sejauh mana kita mampu melepaskan demi kebaikan yang lebih besar.
Kebebasan Sejati
Melepaskan yang terindah bukan berarti menjadi lemah, melainkan justru menunjukkan keberanian dan kedewasaan spiritual. Ia adalah pengakuan bahwa segala sesuatu yang selama ini menjadi klaim kepemilikan kita, adalah amanah Tuhan yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Ketundukan terhadap kehendak ilahi, diiringi dengan kesungguhan hati, menjadikan manusia tidak lagi terbelenggu oleh keserakahan dan kesombongan.
Dalam kata-kata sufistik, melepas adalah ‘menanggalkan segala beban duniawi agar hati bebas menari dalam cahaya Ilahi.’ Proses ini mengantarkan manusia pada ketenangan batin yang hakiki, sebuah anugerah yang jauh lebih berharga daripada apa pun yang bisa diraih dunia.
Idul Adha mengajarkan kita untuk menempatkan segala sesuatu pada porsinya yang benar. Pengorbanan Ibrahim dan keluarganya menjadi teladan abadi bahwa kebahagiaan sejati, lahir dari keberanian melepas yang terindah demi ridha Ilahi dan kebaikan sesama.
Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, mari jadikan momen qurban sebagai momentum refleksi dan transformasi batin, agar kita mampu membebaskan diri dari belenggu nafsu dan ego, serta menjadi insan yang ikhlas, sabar, dan penuh kasih.
Sekali lagi, melepaskan bukanlah kehilangan, melainkan pembebasan. Qurban adalah nafas kehidupan yang mengajak kita untuk terus berproses menjadi lebih baik, mendekatkan diri pada Tuhan, dan menyebarkan cinta dalam bentuk pengorbanan nyata.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Ustaz-Nur-Salim-Ismail-S-Th-I-MSi-ketua-LD-PWNU-Sulbar.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.