Opini

Bekerja Tapi Tetap Miskin, Fenomena Working Poor di Sulawesi Barat

Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya pendapatan rumah tangga, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal

|
Editor: Ilham Mulyawan
Tangkapan layar
KEPALA BPS Mamasa Sulawesi Barat Aan Setyawan 

Oleh:
Aan Setyawan
Kepala BPS Kabupaten Mamasa

TRIBUN-SULBAR.COM - Sulawesi Barat menunjukkan capaian ketenagakerjaan yang menggembirakan dalam beberapa periode terakhir. 

Pada Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) provinsi ini tercatat 3,17 persen, menjadikannya salah satu yang terendah di Indonesia. 

Meski demikian, angka ini tidak sejalan dengan pengentasan kemiskinan. 

Merujuk pada data terakhir, pada September 2024, 10,71 persen penduduk Sulawesi Barat masih hidup di bawah garis kemiskinan, menempatkan provinsi ini dalam 15 besar provinsi dengan kemiskinan tertinggi. 

Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun banyak lapangan kerja tercipta, itu belum cukup untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan.

Keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan tidak bisa hanya dilihat dari satu indikator TPT saja. 

Perlu analisis lebih komprehensif dari berbagai indikator ketenagakerjaan lainnya agar kebijakan pembangunan lebih tepat sasaran. 

Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Lebih Dalam Melihat Dinamika Ketenagakerjaan.

Jika dilihat lebih mendalam, meskipun selama periode Februari 2024 hingga Februari 2025 Sulawesi Barat berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 14,71 ribu orang, jumlah pengangguran justru ikut bertambah sebesar 1,64 ribu orang, sehingga total pengangguran mencapai 25,02 ribu orang. 

Kondisi ini mengindikasikan bahwa peningkatan kesempatan kerja belum mampu mengimbangi pertambahan jumlah angkatan kerja baru, yang sebagian masih belum terserap oleh pasar tenaga kerja.

Selanjutnya, dari sebanyak 764,61 ribu orang yang bekerja di Sulawesi Barat, mayoritas bekerja pada sektor pertanian, mencapai 53,48 persen. 

Sektor ini menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi daerah karena mampu menyediakan kebutuhan dasar, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan relatif stabil menghadapi guncangan ekonomi. 

Namun, dominasi sektor pertanian juga menyimpan sejumlah risiko. Ketergantungan yang terlalu tinggi terhadap sektor ini menyebabkan struktur ekonomi daerah menjadi kurang beragam, sehingga rentan terhadap perubahan iklim, gagal panen, dan fluktuasi harga komoditas yang dapat berdampak langsung pada kesejahteraan petani dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Jika dilihat berdasarkan status pekerjaan, sebanyak 71,83 persen penduduk yang bekerja di Sulawesi Barat merupakan pekerja informal. Kelompok ini mencakup mereka yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas, serta pekerja keluarga. 

Pekerja informal umumnya memiliki tingkat pendapatan yang rendah dan minim perlindungan kerja. 

Jika dianalisis lebih lanjut, sebanyak 167,81 ribu orang atau 21,95 persen dari total penduduk yang bekerja merupakan pekerja keluarga yang tidak menerima upah. 

Artinya, sekitar 1 dari 5 penduduk yang bekerja di Sulawesi Barat hanya membantu usaha keluarga tanpa bayaran, sehingga kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga sangat terbatas.

Karakteristik penduduk bekerja di Sulawesi Barat juga masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. 

Tercatat, 41,04 persen dari pekerja hanya memiliki tingkat pendidikan maksimal Sekolah Dasar. Bahkan, jika ditambah dengan jenjang pendidikan SMP, sebanyak 55,07 persen penduduk yang bekerja di Sulawesi Barat memiliki pendidikan SMP ke bawah. 

Rendahnya tingkat pendidikan ini berimplikasi pada keterbatasan keterampilan dan kompetensi, sehingga sebagian besar hanya mampu bekerja di sektor informal dengan produktivitas dan penghasilan yang rendah.

Dari sisi jam kerja, hanya 49,84 persen pekerja yang tergolong sebagai pekerja penuh, yaitu mereka yang bekerja minimal 35 jam per minggu.

 Sisanya merupakan pekerja paruh waktu sebesar 36,00 persen dan setengah pengangguran sebesar 14,15 persen. 

Pekerja paruh waktu adalah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan tidak mencari pekerjaan tambahan. 

Sementara itu, setengah pengangguran adalah mereka yang juga bekerja kurang dari 35 jam per minggu, namun masih mencari pekerjaan tambahan karena penghasilannya belum mencukupi. 

Menariknya, persentase pekerja paruh waktu ini menunjukkan tren kenaikan dibanding Februari 2024 yang sebesar 34,72 persen.

Jam kerja yang tidak optimal ini berkontribusi terhadap rendahnya tingkat pendapatan pekerja. 

Penduduk yang bekerja dengan jam kerja terbatas umumnya menerima penghasilan yang jauh dari memadai. 

Hal ini terlihat dari data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2024 yang menunjukkan bahwa sebanyak 42,51 persen penduduk bekerja di Sulawesi Barat memiliki pendapatan kurang dari Rp1.500.000 per bulan, jauh di bawah UMP Sulawesi Barat tahun 2024 yang sebesar Rp2.900.000, yang menjadi acuan kebutuhan hidup layak.

Fenomena Working Poor dan Solusi

Tingginya jumlah pekerja tidak penuh ini mencerminkan masih banyaknya penduduk yang belum memperoleh pekerjaan yang layak dan stabil. 

Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya pendapatan rumah tangga, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal, dengan jam kerja terbatas, dan tanpa keterampilan yang memadai. 

Situasi tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa tingkat kemiskinan di Sulawesi Barat masih tergolong tinggi, meskipun angka pengangguran relatif rendah. Fenomena ini dikenal sebagai working poor, yaitu kondisi di mana seseorang sudah bekerja tetapi tetap hidup dalam kemiskinan. 

Untuk itu, peningkatan kualitas tenaga kerja dan perluasan akses terhadap pekerjaan layak menjadi kunci dalam mengatasi persoalan ini.

Untuk mengatasi permasalahan ini, upaya pembangunan ketenagakerjaan tidak cukup hanya berfokus pada penciptaan lapangan kerja semata, tetapi juga harus diarahkan pada peningkatan kualitas pekerjaan. 

Pemerintah daerah perlu merancang program yang lebih strategis dan berkelanjutan, seperti peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan sertifikasi. 

Program "1000 Tenaga Kerja Bersertifikasi" yang akan dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, misalnya, bisa menjadi langkah awal yang baik jika diimplementasikan secara serius dan menjangkau kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan peningkatan keterampilan.

Mengingat sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian, transformasi sektor ini menjadi lebih produktif dan bernilai tambah menjadi penting. 

Upaya tersebut meliputi penyediaan teknologi modern, pelatihan inovatif, dan penguatan kelembagaan petani seperti koperasi. 

Mendorong pengolahan hasil pertanian menjadi produk turunan bernilai ekonomi tinggi, serta melibatkan UMKM lokal dalam rantai pasok, juga dapat membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan desa.

Di sisi lain, perluasan akses pasar dan stabilisasi harga komoditas harus menjadi perhatian utama agar pendapatan petani tidak fluktuatif dan lebih terjamin. 

Perluasan akses pasar misalnya bisa mengadopsi inovasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui pengembangan NTB Mall, sebuah situs jual beli daring (e-commerce) yang memfasilitasi produk-produk unggulan UMKM lokal agar dapat menjangkau konsumen yang lebih luas, termasuk di luar daerah. 

Model serupa bisa menjadi inspirasi bagi Sulawesi Barat untuk membangun ekosistem pemasaran digital yang kuat, mempertemukan produsen lokal dengan pasar nasional bahkan internasional.

Dengan transformasi menyeluruh ini, sektor pertanian dapat menjadi motor penggerak ekonomi daerah yang inklusif dan berkelanjutan, serta menjadi sumber penghidupan yang layak bagi masyarakat perdesaan—tidak lagi identik dengan kemiskinan, melainkan sebagai fondasi utama kesejahteraan.

Keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan perlu diukur bukan hanya dari banyaknya penduduk yang bekerja atau capaian angka tingkat pengangguran, tetapi dari sejauh mana pembangunan ketenagakerjaan mampu meningkatkan kesejahteraan secara masyarakat. 

Pemerintah daerah berperan besar melalui kebijakan berbasis data, peningkatan kualitas tenaga kerja, penciptaan pekerjaan layak, dan penguatan sektor strategis seperti pertanian dan UMKM. 

Kolaborasi lintas sektor juga penting untuk membangun ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif dan berdaya saing, demi memperkuat fondasi kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat secara berkelanjutan. (*)


 

 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved