Berita Pasangkayu

Kepala Desa Lariang dan Jengeng Raya Pasangkayu Tegaskan Sporadik Sah dan Berdasar Hukum

Firman menegaskan bahwa tidak ada aturan hukum yang melarang masyarakat untuk menguasai atau memanfaatkan tanah

Editor: Ilham Mulyawan
Pemprov Sulbar
Ketemu Wagub - Kepala Desa Jengen Raya, Abdul Rahim (kemeja merah) saat bertemu dengan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Salim S Mengga di ruang kerja Wagub di kantor Gubernur Sulbar, Jl Abduk MaliK Pattana Endeng pada Jumat (27/6/2025). Abdul Rahim bersama Kades Lariang tegaskan sporadik sah 

TRIBUN-SULBAR.COM, PASANGKAYU -  Menyikapi pemberitaan “Khawatir Picu Konflik, Warga Tikke Raya Pertanyakan Tuntutan Pengukuran Lahan” dua kepala desa di Kecamatan Tikke Raya, yakni Firman Kepala Desa Lariang dan Abdul Rahim Kepala Desa Jengeng Raya, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat menyebutkan proses pembuatan surat sporadik masyarakat yang dilakukan pemerintah desa, merupakan tindakan sah, terbuka, dan memiliki dasar hukum yang kuat.

“Kami melaksanakan penerbitan sporadik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, bukan tindakan sepihak,” tegas Firman dan Abdul Rahim dalam pernyataan tertulis bersama.

Sporadik adalah bagian dari proses resmi pendaftaran tanah di Indonesia. 

Firman menegaskan bahwa tidak ada aturan hukum yang melarang masyarakat untuk menguasai atau memanfaatkan tanah, selama tanah tersebut bukan kawasan hutan, bukan aset negara atau daerah, dan tidak ada hak lain yang melekat di atasnya (seperti HGU atau HGB).

“Selama tanah itu bebas dari hak pihak lain dan bukan kawasan terlarang, masyarakat berhak menguasai, mengelola, dan bahkan mendaftarkannya ke BPN. Tidak ada aturan yang mensyaratkan bahwa tanah harus dikuasai puluhan tahun baru bisa didaftarkan,” jelas Firman.

Prinsip dasarnya, lanjutnya, adalah penguasaan nyata (fisik) dan itikad baik, bukan lamanya waktu semata.

Snada, Abdul Rahim juga menjelaskan bahwa secara substansi, sporadik merupakan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah.

“Yang membuat sporadik sebenarnya adalah masyarakat sendiri sebagai pihak yang menguasai tanah. Kepala desa bukan penerbit, tapi hanya pihak yang ikut mengetahui atau mengesahkan bahwa penguasaan tanah tersebut memang benar ada dan tidak menimbulkan sengketa,” ujar Abdul Rahim.

Kepala desa, kata dia, bukan lembaga yang membidangi pendaftaran tanah, karena ranah itu berada di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun sebagai penyelenggara pemerintahan di tingkat desa, kepala desa memiliki tanggung jawab pelayanan publik untuk membantu masyarakat memperoleh dokumen administrasi awal sebelum diajukan ke BPN.

“Jadi ketika ada warga datang membawa sporadik untuk dimintakan tanda tangan, kami tidak serta merta menandatangani. Kami cek dulu — apakah benar tanah itu dikuasai secara sah, apakah ada keberatan dari pihak lain. Kalau semua jelas dan tidak ada masalah, barulah kami ikut mengetahui sporadik itu,” jelas Firman.

Dengan demikian, sporadik bukan produk hukum kepala desa, melainkan dokumen masyarakat yang diketahui pemerintah desa untuk memastikan keabsahan penguasaan secara administratif.

“Setiap sporadik di wilayah kami melalui proses pemeriksaan lapangan, tidak asal dibuat. Semua data terkonfirmasi di lapangan,” tambah Abdul Rahim.

Pelaksanaan Amanat Konstitusi dan UUPA

Langkah pemerintah desa membantu masyarakat membuat sporadik justru merupakan pelaksanaan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) tentang Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved