Opini
Dari Umar bin Abdul Aziz ke Purbaya: Meneladani Keuangan Negara yang Berkeadilan
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah yang berhasil memakmurkan rakyatnya hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun masa pemerintahan.
Ringkasan Berita:
- Umar bin Abdul Aziz dan Purbaya Yudhi Sadewa sama-sama menempatkan keuangan negara sebagai amanah moral, bukan sekadar urusan angka dan defisit.
- Umar menata keuangan dengan keadilan syar’i dan integritas, sedangkan Purbaya mendorong kebijakan fiskal inklusif, transparan, dan berpihak pada rakyat.
- Keduanya mengajarkan bahwa kesejahteraan lahir dari pengelolaan keuangan yang jujur, adil, dan berorientasi pada kemaslahatan publik.
Oleh: Muh Yusrang
KETIKA berbicara tentang pengelolaan keuangan negara, kita sering terjebak dalam angka-angka defisit, rasio utang, dan target pertumbuhan ekonomi.
Namun, di balik semua itu, ada dimensi yang jauh lebih mendalam: keadilan dan kemaslahatan publik.
Dua sosok dari dua zaman berbeda—Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah pada abad ke-8, dan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan Indonesia yang baru dilantik tahun 2025.
Keduanya memberikan pelajaran penting bahwa mengelola uang negara bukan semata soal neraca dan kebijakan fiskal, tetapi soal amanah dan keberpihakan pada rakyat.
Baca juga: Feodalisme Kultural di Dunia Pesantren
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah yang berhasil memakmurkan rakyatnya hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun masa pemerintahan.
Sementara Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom yang dikenal berintegritas dan lugas, kini memikul tanggung jawab besar untuk menjaga arah kebijakan fiskal negara di tengah ketidakpastian global dan tantangan domestik.
Menariknya, meskipun dipisahkan jarak lebih dari 1.300 tahun, keduanya memiliki benang merah: mengelola keuangan negara dengan prinsip moral, keadilan, dan kemaslahatan sosial.
Konsep Model Pengelolaan Keuangan Umar bin Abdul Aziz
Sejarawan besar Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk mencatat bahwa saat Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pada tahun 717 M, kondisi negara dalam krisis moral dan fiskal.
Harta negara banyak disalahgunakan oleh pejabat dan keluarga istana. Pajak diberlakukan secara tidak adil, dan rakyat jelata hidup dalam kesengsaraan.
Namun hanya dalam waktu dua tahun lebih, keadaan itu berubah total.
Menurut Al-Tabari, Umar “mengembalikan harta rakyat yang dirampas dan menata baitul mal berdasarkan prinsip keadilan syar’i,” sehingga keuangan negara kembali kuat dan rakyat mencapai kesejahteraan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah menggambarkan reformasi ekonomi Umar dengan penuh kekaguman. Ia menulis, “Tidak ada pemimpin setelah Khulafaur Rasyidin yang menyamai keadilan dan kesalehan Umar bin Abdul Aziz.”
Ia bahkan menambahkan bahwa di masa pemerintahannya, zakat sulit disalurkan karena hampir tidak ada lagi orang miskin yang berhak menerimanya.
Fakta itu menunjukkan bahwa kebijakan fiskal Umar tidak hanya memperkuat kas negara, tetapi juga memperkecil kesenjangan sosial.
Umar memulai reformasi fiskal dengan langkah moral. Ia memerintahkan keluarga dan pejabat istana untuk mengembalikan harta yang diperoleh secara tidak sah, menutup peluang korupsi, dan menata kembali sumber-sumber pendapatan negara seperti zakat, kharaj (pajak tanah), dan jizyah (pajak non-Muslim) dengan prinsip keadilan.
Pajak yang sebelumnya bersifat eksploitatif dihapuskan. Umar juga membangun sistem pengeluaran negara yang ketat dan transparan, memastikan bahwa setiap dirham dari baitul mal digunakan untuk kepentingan umat—baik dalam pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, maupun kesejahteraan sosial.
Sejarawan kontemporer seperti Ali Muhammad As-Shallabi dalam Umar bin Abdul Aziz: Khalifah yang Adil dan Zuhud menegaskan bahwa keberhasilan ekonomi Umar terletak pada integritas moralnya.
Menurut As-Shallabi, Umar melihat uang negara bukan sekadar alat pembangunan, melainkan sarana ibadah sosial. Ia meyakini bahwa keberkahan ekonomi lahir dari keadilan dan kejujuran dalam mengelola keuangan publik.
Dalam konteks ini, Umar bin Abdul Aziz telah lebih dulu menampilkan konsep yang hari ini kita kenal sebagai “fiskal berkeadilan”: sistem keuangan yang berpihak kepada masyarakat bawah, dikelola dengan integritas, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Konsep Model Pengelolaan Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Melompat jauh ke abad ke-21, Indonesia baru saja menyambut Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menggantikan Sri Mulyani pada September 2025.
Sosok ini dikenal luas di kalangan teknokrat ekonomi Indonesia sebagai figur yang rasional, lugas, dan berintegritas.
Ia bukan hanya ekonom akademis, tetapi juga birokrat yang lama berkecimpung di dunia kebijakan publik—dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga Kemenko Perekonomian.
Dalam pidato perdananya, Purbaya menyatakan bahwa “kebijakan fiskal bukan sekadar menjaga angka defisit, melainkan memastikan uang negara bekerja untuk rakyat.”
Ia menegaskan arah kebijakan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi inklusif, pemerataan kesempatan, dan tata kelola yang bersih.
Purbaya membawa pendekatan baru dalam mengelola kas negara: penempatan dana pemerintah di bank-bank milik negara diarahkan untuk memperkuat likuiditas dan mendorong kredit produktif ke sektor riil seperti UMKM, pertanian, dan industri hijau.
Ia menilai, uang publik harus mengalir ke tempat yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat, bukan sekadar menumpuk dalam cadangan keuangan negara.
Dalam konteks fiskal modern, langkah Purbaya ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan “keuangan negara yang hidup”, yakni keuangan yang bergerak, berdaya guna, dan berpihak.
Ia juga menegaskan pentingnya transparansi dan integritas dalam reformasi pajak dan bea cukai—dua sektor yang selama ini sering menjadi sorotan publik.
Tantangan besar yang dihadapi Purbaya tentu tidak ringan. Ia harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan membiayai pembangunan dan menjaga kesehatan fiskal negara.
Namun pendekatannya menunjukkan arah yang jelas: pertumbuhan ekonomi harus berjalan seiring dengan keadilan sosial.
Dalam semangat ini, kebijakan fiskal Purbaya mencerminkan niat untuk menegakkan prinsip moral dalam ekonomi—bahwa uang negara adalah amanah publik yang harus digunakan dengan tanggung jawab.
Kesamaan Prinsip antara Umar bin Abdul Aziz dan Purbaya Yudhi Sadewa
Jika menelusuri pemikiran kedua tokoh ini, terlihat bahwa meskipun dipisahkan oleh lebih dari tiga belas abad dan oleh sistem politik yang sangat berbeda, keduanya bertemu pada satu titik nilai yang sama: keuangan publik adalah instrumen moral untuk mewujudkan keadilan sosial.
Umar bin Abdul Aziz meletakkan dasar bahwa kesejahteraan bukan sekadar hasil kebijakan ekonomi, melainkan buah dari pemerintahan yang adil dan amanah.
Dalam catatan Ibn Katsir, Umar sering menolak hidup mewah dan memilih menghemat belanja istana agar anggaran lebih banyak digunakan untuk rakyat.
Prinsip ini sejalan dengan semangat yang kini digaungkan Purbaya—menekan pengeluaran birokrasi yang tidak produktif dan mengalihkan belanja negara ke sektor yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Keduanya juga sama-sama menekankan pentingnya integritas. Al-Tabari menulis bahwa Umar memerintahkan seluruh pejabatnya untuk menandatangani sumpah amanah keuangan, agar tidak menyalahgunakan dana negara.
Dalam sistem modern, hal ini sejajar dengan komitmen Purbaya dalam memperkuat tata kelola fiskal yang transparan dan akuntabel.
Keduanya meyakini bahwa uang rakyat hanya akan membawa berkah jika dikelola dengan jujur dan bersih.
Dari sisi visi, keduanya berpandangan bahwa kebijakan ekonomi tidak boleh lepas dari dimensi moral.
Umar melihat baitul mal sebagai amanah Allah untuk kemaslahatan umat; sementara Purbaya memandang APBN sebagai amanah konstitusi yang menuntut keadilan dan tanggung jawab publik.
Di antara jarak sejarah yang panjang itu, benang merah yang menghubungkan keduanya adalah keyakinan bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat tercapai jika keuangan negara dikelola dengan nurani.
Kita bisa menyimpulkan bahwa model fiskal Umar bin Abdul Aziz adalah cermin etika, sementara kebijakan fiskal Purbaya adalah bentuk aktualisasi etika itu dalam konteks modern.
Keduanya sama-sama menolak paradigma bahwa ekonomi adalah urusan angka belaka. Bagi mereka, keuangan publik adalah wujud nyata dari cinta pada rakyat—dan ujian kejujuran bagi pemimpin.
Indonesia kini berdiri di persimpangan penting. Tantangan ekonomi global, ketimpangan sosial, dan beban fiskal menuntut bukan hanya kemampuan teknokratis, tetapi juga kepemimpinan moral.
Sejarah Umar bin Abdul Aziz memberi kita pelajaran berharga: reformasi ekonomi sejati lahir dari hati yang bersih dan niat yang tulus untuk menegakkan keadilan.
Begitu pula, langkah-langkah awal Purbaya Yudhi Sadewa dalam menata kebijakan fiskal menunjukkan harapan bahwa nilai-nilai moral itu bisa kembali hidup di ruang kebijakan publik kita.
Dengan menjadikan keuangan negara sebagai instrumen kemaslahatan dan keberpihakan sosial, ia menghidupkan kembali semangat yang pernah menerangi peradaban Islam berabad-abad lalu.
Pada akhirnya, sejarah selalu berulang dalam bentuk yang berbeda. Umar bin Abdul Aziz telah menunjukkan bahwa pemerintahan yang adil dapat membawa kemakmuran tanpa harus menumpuk kekayaan.
Kini, giliran para pemimpin modern seperti Purbaya untuk membuktikan bahwa prinsip yang sama tetap relevan: keadilan adalah pondasi dari kesejahteraan.
Dan mungkin, di tengah segala hiruk-pikuk politik dan ekonomi, inilah saatnya kita kembali belajar dari sejarah—bahwa mengelola keuangan negara bukan hanya urusan cerdas, tapi juga urusan hati.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/MUH-Yusrang-SH-Penyuluh-Agama-Islam-Kantor-Kementerian-Agama-Kabupaten-Mamuju-Tengah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.