BBM Pertalite

Sopir Angkutan Lintas Daerah di Mamuju Resah: Pembatasan Pertalite Picu Kenaikan Tarif

Penulis: Andika Firdaus
Editor: Nurhadi Hasbi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SOPIR LINTAS - Mobil angkutan lintas daerah saat menunggu penumpang di terminal Pasar Baru Mamuju, Kelurahan Karema, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (30/6/2025). Para sopir angkutan resah dengan rencana pembatasan BBM Pertalite.

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU – Pemerintah akan memberlakukan pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Indonesia.

Kebijakan ini mengacu pada revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 dan menetapkan daftar 50 jenis kendaraan yang tidak lagi diizinkan menggunakan Pertalite.

Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan subsidi energi lebih tepat sasaran serta mendukung efisiensi anggaran negara.

Baca juga: Daftar 50 Motor dan Mobil yang Tidak Dibolehkan Lagi Isi BBM Pertalite di SPBU Pertamina

Namun, kebijakan ini langsung menuai reaksi dari masyarakat, terutama dari para sopir angkutan lintas daerah yang menggantungkan operasional kendaraan mereka pada Pertalite karena harganya yang lebih terjangkau.

“Jelas ini memberatkan kami, Dek,” ujar Pandu (53), seorang sopir angkutan yang ditemui di Terminal Pasar Baru, Senin (30/6/2025).

“Pendapatan kami kan pas-pasan. Kalau Pertalite dibatasi, otomatis kami harus pakai Pertamax yang harganya lebih mahal,” ungkapnya.

Pandu menjelaskan, sebagian besar kendaraan mereka masuk dalam daftar yang dilarang mengisi Pertalite. Padahal selama ini, mereka selalu mengandalkan BBM bersubsidi tersebut.

“Sekarang kalau harus beralih ke Pertamax, pengeluaran kami untuk BBM bisa naik,” keluhnya.

Ia menambahkan bahwa kenaikan pengeluaran bahan bakar pasti akan berdampak langsung pada tarif angkutan.

“Tentunya dampaknya ke masyarakat juga. Kalau biaya operasional kami naik, mau tidak mau tarif lintas juga harus ikut naik,” imbuh Pandu.

Pandu berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini atau setidaknya memberikan solusi bagi sopir angkutan seperti dirinya.

“Kami saja ini biasa tiga hari tidak beroperasi. Ditambah kebijakan seperti ini, ya tidak lama kami bisa gulung tikar,” terangnya.

Sementara itu, Herman, sopir lintas rute Mamuju–Palu, menyampaikan keluhan serupa.

“Ini sangat menyulitkan kami yang beroperasi jarak jauh. Harga Pertamax jauh lebih tinggi, sementara kami harus memastikan mobil terus jalan untuk menafkahi keluarga,” katanya.

Ia mengkhawatirkan bahwa jika tidak ada solusi, banyak sopir akan berhenti beroperasi atau bahkan beralih profesi.

Halaman
12