Opini
Menatap Masa Depan melalui Rekonsiliasi dengan Alam
Islam adalah agama yang mencintai alam. Maka bila kita mengaku sebagai Muslim, sudah seharusnya kita menjadi penjaga bumi, bukan perusaknya.
Oleh: Muhammad Yusrang
(Penyuluh Agama Kabupaten Mamuju Tengah)
ZAMAN sekarang, kita bisa melakukan banyak hal hanya dengan sentuhan jari: memesan makanan, membeli barang, membaca berita, hingga bertemu orang lain lewat layar. Teknologi telah mengubah cara kita hidup. Tapi di tengah semua kemudahan ini, ada satu hal yang mulai kita lupakan: hubungan kita dengan alam.
Dulu, manusia dan alam hidup berdampingan. Alam menyediakan air, makanan, udara segar, dan tempat tinggal. Kita pun menjaganya, merawat hutan, menjaga sungai, dan hidup sesuai kebutuhan.
Tapi kini, hubungan itu mulai rusak. Alam terus memberi, tapi manusia lupa membalas dengan menjaga. Kita menebang hutan, mencemari sungai, meracuni udara, dan menghabiskan sumber daya tanpa henti. Akibatnya? Alam mulai sakit. Dan sakitnya alam adalah sakit kita semua.
Kini saatnya kita berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: Apakah kita benar-benar sedang menuju masa depan, atau justru sedang menghancurkannya? Bila ingin menatap masa depan dengan harapan, maka satu langkah penting yang harus dilakukan adalah: rekonsiliasi dengan alam.
Sinyal Bahaya dari Alam
Ilmu pengetahuan telah lama memperingatkan kita tentang tanda-tanda kerusakan bumi. Hasil penelitian, laporan ilmiah, dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa bumi berada dalam kondisi genting.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu bumi telah meningkat sekitar 1,1 derajat Celsius sejak era pra-industri. Sekilas terlihat kecil, tapi dampaknya besar.
Kutub mencair, permukaan air laut naik, dan cuaca ekstrem makin sering terjadi. Kita melihat banjir besar, kekeringan panjang, gelombang panas, dan badai yang menghancurkan banyak wilayah.
Tidak hanya itu, kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan terus meningkat. Indonesia sendiri, sebagai negara tropis yang kaya akan hutan, kehilangan jutaan hektar hutan setiap tahun karena penebangan liar dan alih fungsi lahan. Padahal, hutan adalah paru-paru bumi, penyimpan air, dan rumah bagi ribuan spesies makhluk hidup.
Kita juga dihadapkan pada krisis keanekaragaman hayati. Ratusan spesies tumbuhan dan hewan punah setiap tahun. Laut-laut kita tercemar oleh plastik dan limbah industri. Udara kota dipenuhi asap kendaraan dan polusi pabrik. Sampah menumpuk di sungai, di daratan, bahkan di perut ikan yang kita makan.
Semua ini bukan hanya sekadar statistik. Melainkan ini adalah panggilan darurat dari bumi. Dan kita harus menjawabnya.
Islam, Iman yang Ramah pada Alam
Sebagai umat Islam, kita diajarkan bahwa bumi bukanlah milik kita sepenuhnya. Kita hanyalah “khalifah” atau pemegang amanah dari Allah SWT. Tugas kita bukan menguasai, tapi menjaga dan merawat.
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menjelaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Salah satunya dalam surah Ar-Rum ayat 41:
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Muh-Yusrang-SH-Ketua-IPARI-Mamuju-Tengah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.