Opini
Kerancuan Statistik: Sebuah Potret dengan Banyak Sudut Pandang
Fenomena ini mengingatkan pada apa yang dipaparkan Edward Tufte dalam "The Visual Display of Quantitative Information
Statistik, yang dirancang dengan metodologi teknis dan tujuan spesifik, akhirnya mengalami simplifikasi ketika masuk ke ranah publik. Fenomena yang akhirnya kita maklumi karena masyarakat umumnya tidak begitu gemar bicara teknis utamanya hitung-menghitung.
Pengamatan beberapa hari terakhir menunjukkan fenomena yang menggelisahkan: misal saja bagaimana sebuah indikator teknis yakni "pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan" mengalami transformasi makna di ruang publik. Indikator yang sejatinya dirancang khusus untuk mengukur dimensi standar hidup layak dalam penghitungan IPM ini mengalami disinterpretasi sebagai ukuran aktual biaya hidup masyarakat.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memahami indikator-indikator dalam IPM? Kembali ke analogi fotografi, sebagaimana kita tidak menggunakan foto aerial untuk menilai detail interior rumah, indikator IPM juga tidak memiliki kapasitas penggunaan menjelaskan hal yang lebih spesifik.
Ketika berbicara tentang standar hidup layak misalnya, "pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan" mestinya dipahami sekedar alat ukur dimensi penyusun pembangunan manusia dalam kerangka IPM, bukan sebagai ukuran biaya hidup layak.
Dinamika Pemahaman Data
Menarik untuk mengamati bagaimana sebuah indikator statistik bisa menghasilkan beragam interpretasi. Hal ini bukan semata-mata soal benar atau salah, melainkan mencerminkan kompleksitas dalam memahami dan mengkomunikasikan data di ruang publik.
Josef Pieper dalam "Leisure: The Basis of Culture" menyinggung pentingnya 'contemplative knowledge' - pengetahuan yang didapat melalui perenungan mendalam. Dalam konteks statistik pembangunan, mungkin inilah yang sama-sama kita butuhkan: sebuah ruang untuk merenungkan bagaimana data seharusnya dipahami dalam konteks yang tepat.
Tuntutan atas kecepatan penyebaran informasi tentu lebih bijak jika dibarengi pemahaman mendalam tentang konteks informasi yang disebarluaskan.
Menuju Pemahaman yang Lebih Baik
Pengalaman dalam pelaporan IPM ini membuka ruang diskusi yang menarik tentang literasi data dalam masyarakat. Tentang bagaimana kita bisa membangun pemahaman kolektif bahwa setiap indikator statistik memiliki konteks dan tujuan spesifik.
Hal ini makin relevan mengingat peran statistik yang semakin vital dalam diskursus pembangunan. Mungkin yang kita butuhkan bukanlah kemampuan membaca angka semata, namun juga pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks dan keterbatasan setiap indikator statistik.
Kita perlu sama-sama sadar bahwa kesalahpahaman dalam interpretasi data statistik tidak hanya menciptakan kebingungan publik, tetapi juga berpotensi menggiring pengambilan kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Ketika indikator IPM yang bersifat makro dan telah disesuaikan dianggap sebagai ukuran mikro kehidupan sehari-hari, kita berisiko menciptakan kebijakan yang tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Amartya Sen dalam "Development as Freedom" mengingatkan bahwa pembangunan seharusnya meningkatkan kapabilitas manusia.
Namun, ketika pemahaman kita tentang indikator pembangunan terdistorsi, upaya peningkatan kapabilitas ini bisa salah arah.
Refleksi ini mengajak kita untuk memikirkan kembali bagaimana seharusnya statistik bisa menjadi instrumen yang memperkaya, bukan menyederhanakan pemahaman kita tentang realitas pembangunan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.