Opini

Kerancuan Statistik: Sebuah Potret dengan Banyak Sudut Pandang

Fenomena ini mengingatkan pada apa yang dipaparkan Edward Tufte dalam "The Visual Display of Quantitative Information

Editor: Ilham Mulyawan
Hirlan Khaeri,
Hirlan Khaeri, S.ST., M.Stat., Statistisi Badan Pusat Statistik 

Hirlan Khaeri, S.ST., M.Stat., 
Statistisi Badan Pusat Statistik


TRIBUN-SULBAR.COM - Indikator Statistik Makro, laksana sebuah foto panorama kota dari ketinggian (aerial).

Dari jauh, kita bisa melihat keseluruhan lanskap - gedung-gedung tinggi, permukiman, dan ruang terbuka hijau yang membentuk satu kesatuan gambaran pembangunan. Namun, akan keliru jika memaknai foto panorama ini untuk menilai detail interior setiap bangunan.

Beberapa hari terakhir surat kabar nasional diramaikan pemberitaan isu keraguan data nominal standar hidup layak BPS. 

Kekisruhan ini bermula dari rilis angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2024 medio november. Tingkat IPM Indonesia 75,02 adalah potret panorama seperti yang kita bahas sebagai awalan.

Angka ini, halnya sebuah foto udara, memberi kita perspektif makro tentang pembangunan manusia. 

Namun, kita kerap tergoda untuk menafsirkannya hingga tingkat yang terlalu mikro.

Sebagai statistisi yang gandrung dalam seni fotografi saya ingin berbagi perumpamaan supaya lebih mudah kita bayangkan. 

Dalam dunia fotografi, hasil akhir sebuah foto ditentukan oleh kombinasi kamera dan lensa yang digunakan. Senada dengan IPM, yang menggunakan tiga “lensa” berbeda - kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak. 

Dalam metodologi resmi disebut dengan dimensi. Setiap dimensi memiliki indikator yang didesain spesifik, seperti halnya lensa yang dirancang untuk tujuan pemotretan tertentu.

Baca juga: Guru, Pahlawan Tak Terlihat Sang Pencerah yang Terlupakan

Baca juga: BERITA FOTO: Distribusi Logistik Pilkada Polman Lalui Jalur Ekstrem di Desa Besoangin Utara

Ambil contoh "pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan" - salah satu indikator IPM. Ini seperti lensa fish-eye (mata ikan) yang sengaja mendistorsi gambar untuk mencakup pandangan yang lebih luas. Indikator ini telah melalui penyesuaian matematis, seperti apa yang dijelaskan panduan PBB, untuk mencerminkan dimensi standar hidup layak secara lebih komprehensif.

Informasi rilisan BPS minggu lalu itu nyatanya menghadirkan momen kontemplatif yang menarik. Bukan tentang capaian angkanya, melainkan tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memaknai statistik dalam diskursus pembangunan.

Statistik dan Ruang Publik

Ada aura menarik dalam interaksi antara statistik dan ruang publik. Di era digital ini, dimana informasi begitu cepat dan melimpah, data dan statistik mengalami proses tafsiran berlapis - dari rilis resmi, melalui media, hingga ke diskusi di ruang-ruang publik. Setiap lapisan ini membawa potensi pergeseran makna yang menarik untuk dikaji.

Fenomena ini mengingatkan pada apa yang dipaparkan Edward Tufte dalam "The Visual Display of Quantitative Information" tentang bagaimana data bisa kehilangan nuansa dan konteksnya dalam proses komunikasi publik. 

Statistik, yang dirancang dengan metodologi teknis dan tujuan spesifik, akhirnya mengalami simplifikasi ketika masuk ke ranah publik. Fenomena yang akhirnya kita maklumi karena masyarakat umumnya tidak begitu gemar bicara teknis utamanya hitung-menghitung.

Pengamatan beberapa hari terakhir menunjukkan fenomena yang menggelisahkan: misal saja bagaimana sebuah indikator teknis yakni "pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan" mengalami transformasi makna di ruang publik. Indikator yang sejatinya dirancang khusus untuk mengukur dimensi standar hidup layak dalam penghitungan IPM ini mengalami disinterpretasi sebagai ukuran aktual biaya hidup masyarakat.
 

Lantas, bagaimana seharusnya kita memahami indikator-indikator dalam IPM? Kembali ke analogi fotografi, sebagaimana kita tidak menggunakan foto aerial untuk menilai detail interior rumah, indikator IPM juga tidak memiliki kapasitas penggunaan menjelaskan hal yang lebih spesifik.

Ketika berbicara tentang standar hidup layak misalnya, "pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan" mestinya dipahami sekedar alat ukur dimensi penyusun pembangunan manusia dalam kerangka IPM, bukan sebagai ukuran biaya hidup layak.

Dinamika Pemahaman Data

Menarik untuk mengamati bagaimana sebuah indikator statistik bisa menghasilkan beragam interpretasi. Hal ini bukan semata-mata soal benar atau salah, melainkan mencerminkan kompleksitas dalam memahami dan mengkomunikasikan data di ruang publik.

Josef Pieper dalam "Leisure: The Basis of Culture" menyinggung pentingnya 'contemplative knowledge' - pengetahuan yang didapat melalui perenungan mendalam. Dalam konteks statistik pembangunan, mungkin inilah yang sama-sama kita butuhkan: sebuah ruang untuk merenungkan bagaimana data seharusnya dipahami dalam konteks yang tepat. 

Tuntutan atas kecepatan penyebaran informasi tentu lebih bijak jika dibarengi pemahaman mendalam tentang konteks informasi yang disebarluaskan.

Menuju Pemahaman yang Lebih Baik

Pengalaman dalam pelaporan IPM ini membuka ruang diskusi yang menarik tentang literasi data dalam masyarakat. Tentang bagaimana kita bisa membangun pemahaman kolektif bahwa setiap indikator statistik memiliki konteks dan tujuan spesifik. 

Hal ini makin relevan mengingat peran statistik yang semakin vital dalam diskursus pembangunan. Mungkin yang kita butuhkan bukanlah kemampuan membaca angka semata, namun juga pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks dan keterbatasan setiap indikator statistik.

Kita perlu sama-sama sadar bahwa kesalahpahaman dalam interpretasi data statistik tidak hanya menciptakan kebingungan publik, tetapi juga berpotensi menggiring pengambilan kebijakan yang tidak tepat sasaran. 

Ketika indikator IPM yang bersifat makro dan telah disesuaikan dianggap sebagai ukuran mikro kehidupan sehari-hari, kita berisiko menciptakan kebijakan yang tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Amartya Sen dalam "Development as Freedom" mengingatkan bahwa pembangunan seharusnya meningkatkan kapabilitas manusia. 

Namun, ketika pemahaman kita tentang indikator pembangunan terdistorsi, upaya peningkatan kapabilitas ini bisa salah arah.

Refleksi ini mengajak kita untuk memikirkan kembali bagaimana seharusnya statistik bisa menjadi instrumen yang memperkaya, bukan menyederhanakan pemahaman kita tentang realitas pembangunan. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ziarah Intelektual

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved