Demo PLTU Mamuju

Disnaker Sulbar Kumpul Bukti Kasus Upah Pekerja PLTU Mamuju Tak Dibayarkan PT RDM, Rizal: Sabar

Disnaker Sulbar sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menghitung selisih upah lembur yang belum dibayarkan.

Editor: Ilham Mulyawan
Sukardi
Warga dan eks karyawan aksi di depan PLTU di Dusun Talaba, Desa Belang-belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), Senin (2/9/2024). 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Mediator Hubungan Industrial (HI) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sulawesi Barat, Muhammad Rizal mengatakan laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Rekind Daya Mamuju (RDM) dan PT Rekayasa Cakrawala Resort, terkait aksi mogok yang dilakukan 65 karyawan yang mengajukan tuntutan.

Mereka terdiri dari operator lokal, operator ship leader hingga operator biasa.

Rizal mengungkapkan bahwa laporan tersebut sudah diterima pada 27 September 2024 lalu.

Saat ini, pihak Disnaker Sulbar sedang menindaklanjuti kasus tersebut dengan mengumpulkan dokumen yang diperlukan.

“Kami telah melakukan kunjungan lapangan dan mengumpulkan dokumen terkait jadwal shift dan slip gaji. Setelah diteliti, ditemukan adanya ketidaksesuaian pembayaran upah lembur dengan peraturan yang berlaku," jelas Rizal saat ditemui di ruang kerjanya, Kantor Disnaker Sulbar, Kompleks Perkantoran Gubernur Sulbar, Rabu (2/10/2024).

Disnaker Sulbar sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menghitung selisih upah lembur yang belum dibayarkan.

Rizal menyebutkan, Disnaker telah membangun komunikasi dengan perusahaan terkait, yakni PT RDM dan PT Rekayasa Cakrawala Resort, untuk mencari solusi yang adil bagi para pekerja.

Pada prinsipnya kata Rizal, upah lembur harus dibayarkan secara profesional dan tepat waktu, sesuai dengan peraturan.

Baca juga: Intimidasi Warga Pilih Paslon Tertentu Lewat Pesan WhatsApp, Oknum PPPK di Majene Diperiksa Bawaslu

Baca juga: Pekerja PLTU Mamuju Ungkap Kejanggalan Manajemen Hingga Kontrak Kerja Hanya Diperlihatkan via Zoom

"Jika pihak perusahaan tidak menyelesaikan masalah ini, maka akan masuk ke ranah perselisihan di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mamuju, dan karena kabupaten tersebut belum memiliki mediator fungsional, kasus ini akan dilimpahkan ke Disnaker Sulbar," ujar Rizal.

Dari pertemuan Disnaker Sulbar dengan pihak perusahaan kata Rizal, manajemen perusahaan berdalih bahwa beberapa karyawan tidak dianggap lembur karena bekerja menggantikan rekan yang cuti atau sakit.

Namun, ia menegaskan bahwa aturan yang berlaku tetap menyatakan pekerjaan di luar jam normal harus dihitung sebagai lembur.

"Mereka menganggap tidak lembur karena misalkan si A hari ini masuk, besok tidak. Tetapi karena ada temannya yang sakit atau cuti, temannya ini menggantikan. Pihak perusahaan mengatakan posisi penggantian dan di aturan tidak ada. Padahal dalam aturan yang dimaksud dengan lembur ketika seseorang bekerja di luar jam normal itulah lembur," ungkapnya.

Selain masalah upah lembur, Disnaker juga menyoroti standar makanan bagi karyawan, yang harus memenuhi kebutuhan minimal 1.400 kalori per hari, serta durasi lembur yang tidak boleh melebihi empat jam per hari.

Mediator HI Disnaker Sulawesi Barat, Muhammad Rizal, saat ditemui di ruang kerjanya, Kantor Disnaker Sulbar, Kompleks Perkantoran Gubernur Sulbar, Rabu (2/10/2024).
Mediator HI Disnaker Sulawesi Barat, Muhammad Rizal, saat ditemui di ruang kerjanya, Kantor Disnaker Sulbar, Kompleks Perkantoran Gubernur Sulbar, Rabu (2/10/2024). (Tribun Sulbar / Suandi)

Rizal berharap proses ini dapat berjalan lancar dan pekerja diminta untuk bersabar menunggu hasil penanganan dari pengawas ketenagakerjaan.

Disnaker Sulbar juga mengimbau perusahaan lain untuk mematuhi ketentuan terkait pembayaran upah lembur sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021.

Sebelumnya diberitakan, aksi unjuk rasa dilakukan puluhan karyawan atau operator Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju yang terletak di Desa Belang-Belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar) pada Selasa (1/10/2024) karena upah lembur mereka tidak bayarkan sesuai dengan perjanjian oleh perusahaan.

Sehingga mereka mogok kerja. Mereka menilai kebijakan pembayaran kompensasi terhadap karyawan itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Sejumlah operator itu mogok kerja  karena pihak perusahaan dianggap tidak memperhatikan karyawan, seperti pembayaran upah lembur yang tidak sesuai atau banyak yang selisih.

Selain itu, upah pesangon para pekerja lainya juga belum dibayarkan yang jatuh pada 1 Oktober 2024 per dan juga perusahaan diminta untuk menggunakan kebijakan lama.

Tidak Transparan

Seorang operator Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Rekind Daya Mamuju di Desa Belang-Belang, Mahrif Ikram menyampaikan beberapa sorotan yang ia identifikasi terkait kebijakan perusahaan.

Menurutnya, kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan diambil secara tiba-tiba dan tidak melalui proses transparan.

Ia menyebutkan gaji dan pesangon tidak dibayar, hingga persoalan cuti yang menurutnya adalah pelanggaran terhadap hak-hak karyawan sesuai peraturan ketenagakerjaan saat ini.

Puluhan karyawan PLTU Mamuju saat aksi unjuk rasa di depan kantor PLTU Desa Belang-Belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), aksi unjuk rasa di depan Kantor PLTU Mamuju, Selasa (1/10/2024).
Puluhan karyawan PLTU Mamuju saat aksi unjuk rasa di depan kantor PLTU Desa Belang-Belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), aksi unjuk rasa di depan Kantor PLTU Mamuju, Selasa (1/10/2024). (Dian PLTU)

“Tiba-tiba bikin kebijakan, kemudian ada berapa seperti gaji dan pesangon tidak dibayar,” kata Mahrif Ikram saat dikonfirmasi Tribun-Sulbar.com via telefon, Selasa (1/10/2024) sore.

“Kalau sesuai undang-undang, harusnya perusahaan memberikan cuti, tapi pihak perusahaan tidak memberikan cuti, kalaupun cuti itu dipotong gaji,” lanjut Mahrif Ikram diketahui sudah bekerja di PLTU Rekind Daya Mamuju sejak 2017 lalu.

Lebih lanjut ia menyampaikan pihak perusahaan membuat kebijakan sendiri terkait pembayaran lembur.

Pihaknya menolak kebijakan ini karena lembur yang seharusnya dibayar berdasarkan aturan antara Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu, kini hanya dibayar Rp 90 ribu.

Ia juga menyampaikan bahwa kebijakan itu diumumkan pada tanggal 1 Juli 2024, tetapi baru disosialisasikan pada bulan September, sehingga ia tidak terima.

Kemudian juga persoalan pesangon belum dipenuhi oleh perusahaan. Mahrif Ikram menyatakan bahwa pesangon seharusnya sudah dibayarkan setelah melewati tenggat waktu enam bulan, namun hingga tanggal 1 Oktober belum juga dipenuhi.

Terakhir, ia juga menyoroti pentingnya adanya kontrak kerja resmi, mengingat sejak awal bekerja, Mahrif Ikram mengaku belum menerima kontrak resmi secara langsung.

“Mulai pertama kali kami kerja sampai saat ini, belum ada salinan kontrak kerja yang sampai ke kita, hanya dipelihatkan lewat via zoom karena vendor yang berganti-ganti,” terangnya kepada Tribun-Sulbar.com.

Para demonstran menduga ada sekelompok orang di dalam internal perusahaan PT Rekind Daya Mamuju (RDM) itu telah menyalahgunakan wewenang atau dugaan korupsi.

"Dari aksi kami lakukan tidak menemukan titik terang dari pihak PLTU Mamuju. Kami menyimpulkan ada dugaan korupsi di dalam PLTU ini," kata Koordinator aksi Muh Ahyar saat dikonfirmasi Tribun-Sulbar.com, Selasa (1/10/2024).

Ayhar menyatakan, pihak pekerja juga merasa tidak puas apa yang telah dijanjikan oleh perusahaan, karena tidak adanya kepastian dan kejelasan soal pembayaran upah lembur.

Dia menyebutkan, pihak perusahaan juga mengakui bahwa saat ini PLTU Mamuju sedang mengalami masalah keuangan.

Sehingga dengan begitu Ahyar meyakini, PLTU Mamuju ini sedang mengalami masalah besar dan dia menduga ada pihak-pihak yang menyalahgunakan wewenang.

"Teman-teman karyawan ini dizolimi, sebab masalah pembayaran pesangon dan upah lembur tidak diberikan kepada para buruh (pekerja)," tegasnya.

Untuk diketahui, sebanyak 66 operator PLTU Mamuju terpaksa mogok kerja imbas upah lembur yang mereka tuntut tidak kunjung dibayarkan oleh perusahaan.

Sejak 19 September 2024 mereka mulai mogok kerja secara berjamaah sehingga membuat operasional pekerjaan lumpuh total.

Ahyar menuturkan, apa yang dialami oleh para karyawan adalah bentuk penjajahan masa kini yang dilakukan PT Rekind Daya Mamuju dalam hal pembayaran pesangon dan upah buruh.

Ahyar menduga ada indikasi ada pihak dari perusahaan yang menyalahgunakan kewenagan untuk menguntungkan pribadi atau sekelompok orang sehingga membuat manajemen perusahaan tidak berjalan.

"Setelah kami mendengar dari pihak perusahaan mereka mengaku sedang krisis keuangan, dari situ kami menduga ada pihak dari perusahaan yangs sedang bermain-main dan merugikan karyawan," bebernya. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved