Opini
Pilar-pilar Pencegahan Kekerasan pada Anak
Kemudian dari sisi pelaku, paling banyak merupakan teman atau pacar yakni 809 pelaku, 702 orang tua, keluarga atau saudara 285 orang, hingga guru 182
Oleh:
drg. Rubiah Lenrang
Praktisi Kesehatan dan Ibu Rumah Tangga
TRIBUN-SULBAR.COM - Kasus pencabulan kembali terjadi di negeri ini. Hal yang membuat semakin miris adalah karena korban masih berusia 13 tahun, sedangkan pelaku mayoritas masih di bawah umur.
Sepuluh pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan di Polres Baubau.
Sungguh memprihatinkan, kasus tersebut hanyalah satu dari ribuan kasus di pertengahan tahun ini.
Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengungkapkan kasus kekerasan kepada anak pada 2024 banyak terjadi di lingkup rumah sebanyak 2.132 kasus, fasilitas umum 484 kasus dan sekolah 463 kasus.
Kemudian dari sisi pelaku, paling banyak merupakan teman atau pacar yakni 809 pelaku, 702 orang tua, keluarga atau saudara 285 orang, hingga guru 182 pelaku.
Jenis kekerasan yang banyak terjadi di satuan pendidikan adalah perundungan.
Jumlah perundungan di sekolah juga mengalami peningkatan dengan pelaku terbanyak berasal dari pacar atau teman.
Banyaknya anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan sesungguhnya dipengaruhi banyak hal.
Kurangnya pengawasan orang tua dipandang sebagai penyebab utama masalah ini.
Fungsi ibu sebagai madrasah pertama sebagian besar kurang berjalan dengan baik.
Mirisnya, saat ini para ibu justru didorong bekerja di luar rumah atas nama pemberdayaan perempuan.
Di sisi lain, perekonomian yang tidak menentu hari ini telah memaksa para istri membantu suami mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Pernikahan saat ini seolah tidak dipandang sebagai salah satu wadah mencetak generasi unggul, yang mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat dan agama. Alhasil, ketika pernikahan menghasilkan keturunan, orang tua cenderung abai dari tanggung jawab mendidik anak. Mereka lebih menyerahkan amanah pembentukan kepribadian anak pada sekolah.
Padahal sistem pendidikan sekuler memisahkan agama dari kehidupan, porsi belajar agama sangat sedikit, bahkan cenderung formalitas. Pembelajaran Islam hanya sekedar hafalan untuk mendapatkan nilai, bukan lagi sebagai standar perilaku dalam menentukan benar dan salah.
Sungguh sistem pendidikan ini gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia. Sebaliknya, sistem ini justru menghasilkan generasi yang krisis jati diri. Tidak mengenal siapa dirinya dan Penciptanya. Tidak memahami tujuan kehidupan di muka bumi ini.
Akibatnya, bukannya menjadikan syariat sebagai standar berperilaku, remaja malah menjadikan kepuasan jasmani sebagai tujuan.
Sehingga, jika melakukan kekerasan seksual atau menyakiti orang lain membuatnya puas, maka akan dia lakukan.
Tanpa memandang apakah ia mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia maupun di akhirat kelak.
Selain dari lingkungan keluarga, pendidikan sekularisme juga dibentuk dari lingkungan sekitar atau masyarakat.
Masyarakat hari ini cenderung individualis. Mereka tidak peduli atas apa yang terjadi dengan sekitarnya. Bila ada tetangganya yang melakukan kesalahan, masyarakat tidak terbiasa mengingatkan.
Bahkan membiarkan masyarakatnya menjelma menjadi cuek, sekuler dan kapitalis.
Dari aspek penerapan sistem sanksi oleh negara, ternyata belum mampu mengatasi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Bahkan yang terjadi kasus kekerasan semakin meningkat.
Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, Khilafah sebagai sistem yang dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
berdiri selama kurang lebih 1300 tahun lamanya. Khilafah terbukti mampu menciptakan peradaban Islam yang berakhlak mulia dan beradab. Semua ini tidak lepas dari ketaatan dan ketundukan manusia pada aturan Allah Subhanahu wa Taala.
Hal ini terwujud disebabkan syariat Islam tegak atas 3 pilar yakni adanya keimanan dan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dengan amar maruf nahi mungkar, dan penerapan syariat Islam oleh negara.
Pembentukan ketakwaan individu dimulai dari keluarga, khususnya seorang ibu sebagai madrasah unggulan bagi anak.
Peran mendidik generasi dipahami sebagai amal yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat sehingga mereka akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah ini.
Di sisi lain, khilafah memberi dukungan bagi para keluarga agar para laki-laki melaksanakan kewajiban mencari nafkah dengan sempurna. Hal ini akan memudahkan para ibu menjalankan peran strategisnya di rumah.
Selain itu, khilafah hanya akan menerapkan sistem pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam, pembentukan kepribadian Islam menjadi tujuannya. Sehingga mereka akan selalu berusaha bersikap sesuai dengan standar syariat.
Mereka tidak akan berani bermaksiat, karena sebelum melakukan, mereka sudah terbayang betapa mengerikannya hari pertanggung jawaban nanti.
Peserta didik akan diarahkan untuk mengisi waktunya dengan baik demi kemajuan peradaban Islam. Mereka akan dididik untuk memahami Islam sekaligus menguasai sains dan teknologi. Alhasil, tidak akan ada remaja yang waktunya terbuang sia-sia, melakukan aktivitas maksiat, termasuk kekerasan.
Dalam khilafah, masyarakat akan dibentuk oleh negara menjadi masyarakat Islami, yang memiliki pemahaman standarisasi dan keyakinan bersandar pada Islam. Sehingga mereka tidak akan abai terhadap perilaku, bahkan akan mudah menasihati generasi jika menemukannya melakukan kemaksiatan.
Demikianlah negara dalam Islam yang penuh tanggung jawab membina generasi, memiliki kepribadian mulia, bahkan menjadi salah satu pilar peradaban Islam. Tidakkah kita merindukan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia?
“Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran :31). (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/drg-Rubiah-Lenrang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.