Opini

Pesantren: Pilar Peradaban Bangsa yang Terciderai oleh Framing Media

Dalam masa penjajahan, pesantren menjadi pusat perlawanan intelektual dan spiritual terhadap penindasan kolonial. 

Editor: Nurhadi Hasbi
DOK MUH YUSRANG
MUH. Yusrang, S.H Penyuluh Agama Islam – Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mamuju Tengah 

Oleh: MUH. Yusrang, S.H
Penyuluh Agama Islam – Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mamuju Tengah

PONDOK pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan keagamaan. Ia adalah sumber mata air peradaban Nusantara yang telah mengalirkan nilai-nilai luhur kejujuran, kesederhanaan, dan pengabdian tanpa pamrih.

Sejak berabad-abad silam, pesantren telah memainkan peran penting dalam membentuk karakter bangsa Indonesia.

Dalam masa penjajahan, pesantren menjadi pusat perlawanan intelektual dan spiritual terhadap penindasan kolonial. 

Dari ruang-ruang pengajian yang sederhana, tumbuh semangat nasionalisme yang berakar dari nilai keislaman dan kebangsaan.

Ulama pesantren tidak hanya mendidik umat dalam ilmu agama, tetapi juga menanamkan kesadaran tentang harga diri dan kemerdekaan. 

Di antara tokoh-tokoh besar itu, kita mengenal nama K.H. Hasyim Asy’ar, pendiri Nahdlatul Ulama, yang menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan.

Tokoh NU lainnya ialah K.H. Wahab Hasbullah yang juga menjadi bagian dari pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.

Demikian pula K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang memperjuangkan pencerahan dan kemajuan pendidikan umat sebagai bentuk jihad intelektual.

Serta beberapa tokoh pahlawan nasional lainnya yang lahir dari rahim pondok pesantren.

Jejak panjang perjuangan para kiai itu membuktikan bahwa pesantren bukanlah lembaga pasif, tetapi dinamis dan adaptif terhadap zaman.

Ia menjadi tempat lahirnya ulama, pendidik, pejuang, sekaligus pemikir bangsa.

Maka tidak berlebihan jika pesantren disebut sebagai pilar peradaban Nusantara, benteng moral yang menjaga agar bangsa ini tidak kehilangan arah di tengah perubahan zaman. 

Pesantren berkontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa jauh sebelum sistem pendidikan modern lahir di Indonesia. Ia melahirkan manusia berilmu sekaligus beradab, yang menjadi fondasi bagi berdirinya republik ini.

Namun, belakangan ini citra pesantren seolah diguncang oleh pemberitaan yang tidak proporsional dari stasiun televisi Trans7.

Tayangan yang membuat narasi negatif dan sempit terhadap budaya pendidikan pada pondok pesantren.

Padahal, jikalau pun ada kesalahan beberapa oknum pengasuh pondok pesantren yang berakibat pada kasus pidana, tidak adil jika kesalahan individu dijadikan cermin bagi seluruh pesantren di Indonesia, lembaga yang jumlahnya mencapai puluhan ribu dengan kontribusi luar biasa terhadap bangsa. 

Framing semacam ini bukan hanya mencederai nama baik pesantren, tetapi juga mengabaikan sejarah panjang perjuangannya dalam mencetak generasi yang berilmu dan berakhlak.

Media seharusnya hadir sebagai jembatan kebenaran, bukan alat yang memperlebar jarak antara masyarakat dan lembaga pendidikan yang telah berjasa besar ini.

Sudah saatnya media, khususnya Trans7, bersikap lebih arif, adil, dan proporsional dalam memberitakan dunia pesantren. Jangan biarkan sensasi mengaburkan fakta sejarah dan nilai luhur yang diwariskan para ulama. 

Pesantren telah terbukti menjadi penyangga moral, penjaga iman, dan pelita bagi bangsa di tengah gelapnya zaman.

Ia tetap tegak berdiri di atas nilai keikhlasan, cinta tanah air, dan komitmen kebangsaan yang tak tergoyahkan.

Meski terkadang diterpa badai prasangka, pesantren akan terus menyalakan cahaya, sebab dari rahim pesantrenlah lahir manusia-manusia berjiwa merdeka yang siap menjaga Indonesia tetap berdaulat dan bermartabat.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Wajah Baru Pendidikan Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved