Ayah Setubuhi Anak

Hijrana Sentil Dinas DP3A Kasus Ayah Hamili Anak Kandung di Majene: Jangan Tunggu Viral Baru Gerak!

Hijrana, menyebut tindakan pelaku sebagai perbuatan bejat yang tidak bisa ditolerir dan mencerminkan krisis moral dalam institusi terkecil keluarga.

Penulis: Anwar Wahab | Editor: Ilham Mulyawan
Hijriana for Tribun Sulbar
Kasus Kekerasan seksual - Ketua Korps HMI-Wati (Kohati) Badko HMI Sulbar, Hijrana meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Majene dan provinsi Sulbar, agar lebih aktif dan serius dalam pencegahan serta penanganan kekerasan seksual dalam keluarga. Ia menyoroti kasus ayah yang mencabuli anak kandungnya di Majene, Sulawesi Barat. 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAJENE - Ketua Korps HMI-Wati (Kohati) Badko HMI Sulbar, Hijrana meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Majene dan provinsi Sulbar, agar lebih aktif dan serius dalam pencegahan serta penanganan kekerasan seksual dalam keluarga.

Ia menyoroti kasus ayah yang mencabuli anak kandungnya di Majene, Sulawesi Barat.

‎“DP3A harus bisa memberikan tekanan kebijakan dan edukasi serius kepada masyarakat. Pencegahan harus berjalan paralel dengan penindakan. Jangan tunggu viral dulu baru bergerak,” tegasnya.

‎Hijrana berharap, kasus ini menjadi momentum terakhir terjadinya kekerasan seksual dalam lingkup keluarga di Sulbar.

Baca juga: Pengakuan Korban hingga Bisa Dihamili Ayah Kandung di Majene : Ngaku Dibujuk Karena Kesepian

Baca juga: Miris ! Ayah Kandung di Majene Hamili Putri Kandungnya, Pelaku Diancam 15 Tahun Bui

‎“Pelaku harus dihukum setimpal. Ini harus menjadi pelajaran besar bagi orang tua agar tidak menyalahgunakan peran dan kuasa dalam rumah tangga,” ia menambahkan.

Hijrana, menyebut tindakan pelaku sebagai perbuatan bejat yang tidak bisa ditolerir dan mencerminkan krisis moral dalam institusi terkecil keluarga.

‎Dia pribadi sangat mengecam perbuatan keji itu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan memberikan perlindungan bagi anak, justru malah menjadi lokasi terjadinya kekerasan seksual.

‎Hijrana menilai, pelaku pantas dikenakan hukuman pemberatan, sebab tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati kepercayaan anak dan merusak ruang aman dalam keluarga.

‎“Jika perlu, pelaku harus dikenakan pasal pemberatan karena telah memanfaatkan lingkungan rumah tangga sebagai lokasi kejahatan. Ini bukan sekadar tindak pidana, tapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya.

‎Ia juga menyoroti lemahnya pendampingan terhadap korban dalam kasus-kasus serupa yang kerap terjadi di daerah. 

Menurutnya, korban kerap tidak mendapatkan hak pendampingan psikologis secara layak, dan bahkan banyak kasus berakhir damai atau pelaku melarikan diri tanpa proses hukum tuntas.

Kasus sudah terlalu sering terjadi, tapi perlindungan terhadap korban masih minim. Bahkan ada yang diselesaikan secara damai atau dibiarkan begitu saja. Ini harus dihentikan. 

Dari keterangan disampaikan oleh Satuan Reskrim Polares Majene, dugaan persetubuhan pertama kali terjadi saat korban, PS (15), masih berusia sekitar 15 tahun. Pelaku, MA (43), diduga memanipulasi korban secara emosional.

Hubungan terlarang ini kemudian berlangsung secara rutin, satu hingga dua kali setiap pekan.

Hingga pada September 2024, korban tidak lagi mengalami menstruasi.

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved