Breaking News

Bapperida Sulbar

Junda Maulana Ungkap Tantangan dan Solusi Kemiskinan Ekstrem Sulbar, Minta Kolaborasi Lintas Sektor

Tahun 2024, prevalensi stunting di Sulbar mencapai 35,5 persen, angka yang tinggi dan mengkhawatirkan.

Penulis: Suandi | Editor: Nurhadi Hasbi
Suandi/Tribun-Sulbar.com
Stunting dan Kemiskinan - Kepala Bapperida Sulbar, Junda Maulana, saat menjadi narasumber Lokakarya Evaluasi dan Persiapan Implementasi Penanganan dan Pencegahan Stunting serta Kemiskinan Ekstrem, di Ballroom Andi Depu, Kantor Gubernur Sulbar, Senin (16/6/2025). Ia menegaskan bahwa stunting adalah persoalan pembangunan jangka panjang. 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU – Kepala Badan Perencanaan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Sulawesi Barat, Junda Maulana, menegaskan pentingnya investasi di bidang kesehatan sebagai langkah strategis dalam penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem.

Hal tersebut disampaikan Junda saat menjadi narasumber dalam Lokakarya Evaluasi dan Persiapan Implementasi Penanganan dan Pencegahan Stunting serta Kemiskinan Ekstrem, yang digelar di Ballroom Andi Depu, Kantor Gubernur Sulbar, Senin (16/6/2025).

Menurut Junda, stunting bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut pembangunan jangka panjang yang dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.

Baca juga: Bapperida Sulbar Coaching Clinic Sinkronisasi RPJMD dan Renstra-PD 2025-2029

“Stunting berkaitan langsung dengan rendahnya produktivitas SDM. Dalam jangka panjang, ini menyebabkan kerugian ekonomi bagi negara,” jelasnya.

Pernyataan ini diperkuat oleh sejumlah studi global. Profesor Hans Rosling menunjukkan bahwa ketahanan hidup anak (child survival) sangat memengaruhi pendapatan per kapita suatu negara.

Sementara Robert J. Waldmann pada 2011 membuktikan bahwa angka kematian bayi (AKB) berkorelasi erat dengan tingkat pendapatan per kapita.

Pemprov Sulbar, lanjut Junda, telah menetapkan kelompok sasaran super prioritas dalam penanganan stunting, yakni ibu hamil, ibu menyusui pascamelahirkan, dan bayi usia 0-23 bulan (baduta).

"Ketiga kelompok ini berada dalam fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), periode emas yang sangat menentukan perkembangan otak dan pertumbuhan fisik anak," ujarnya.

Meski secara nasional prevalensi stunting menunjukkan tren penurunan dari tahun 2010 hingga 2024, menjadi 19,8 persen, angka di Sulbar justru mengalami lonjakan.

Tahun 2024, prevalensi stunting di Sulbar mencapai 35,5 persen, angka yang tinggi dan mengkhawatirkan.

Sementara itu, jumlah balita stunting di Indonesia pada 2024 tercatat sebanyak 4,48 juta anak, turun sekitar 357 ribu dari tahun sebelumnya.

Junda juga menyoroti tantangan besar lain, yakni kemiskinan ekstrem.

Per Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Sulbar mencapai 155,91 ribu jiwa, dengan 84,25 persen di antaranya tinggal di wilayah perdesaan.

Namun demikian, terdapat sinyal perbaikan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menurun dari 1,85 poin menjadi 1,45 poin, dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) turun dari 0,45 poin menjadi 0,29 poin, menandakan kesenjangan di antara penduduk miskin mulai mengecil.

Untuk mengatasi hal ini, Pemprov Sulbar telah meluncurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan, seperti:

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved