Opini
Statistik di Atas Mimbar Politik: Sebuah Refleksi Kritis
Sebagai seorang statistisi, saya menangkap kebenaran dalam pernyataan tersebut, meski ironisnya, beberapa klaim dalam pidato yang sama tidak disertai
Oleh: Hirlan Khaeri, S.ST., M.Stat.
Statistisi di Badan Pusat Statistik
TRIBUN-SULAR.COM - Maraknya tayangan kampanye politik dan debat kandidat pemimpin daerah seminggu terakhir menggugah suatu kegelisahan yang mendalam. Bukan kegelisahan yang melumpuhkan, melainkan kegelisahan yang menggerakkan kita untuk merefleksikan secara kritis penggunaan statistik dalam kancah politik bangsa.
Yang kita pertanyakan bukanlah keberadaan statistik itu sendiri, melainkan bagaimana kita telah memperlakukan statistik dalam ruang demokrasi kita.
Refleksi ini menjadi semakin relevan mengingat pernyataan Prabowo Subianto dalam pidato perdananya sebagai presiden: "Jangan kita terlalu senang melihat angka-angka statistik, yang membuat kita terlalu cepat gembira, terlalu cepat puas, padahal kita belum melihat gambaran sepenuhnya."
Sebagai seorang statistisi, saya menangkap kebenaran dalam pernyataan tersebut, meski ironisnya, beberapa klaim dalam pidato yang sama tidak disertai data yang memadai—seperti pernyataan tentang banyaknya anak yang tidak sarapan saat berangkat sekolah.
Fenomena ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara data dan kebijakan publik: di satu sisi kita perlu waspada terhadap 'sophisma' statistik, namun di sisi lain kita tidak bisa mengabaikan pentingnya data dalam pengambilan keputusan.
Pengalaman global memberikan pelajaran berharga: banyak negara maju telah berhasil memanfaatkan statistik untuk merencanakan dan mengevaluasi pembangunan mereka. Bahkan, tidak sedikit perusahaan multinasional yang meraih keunggulan kompetitif melalui pemanfaatan data yang tepat. Kunci keberhasilannya terletak bukan pada data itu sendiri, melainkan pada cara kita memahami dan menempatkan data dalam konteks yang lebih luas.
Maka, kita patut mengajukan pertanyaan mendasar: apakah penggunaan statistik dalam politik kita selama ini, yang telah menyita begitu banyak energi dan sumber daya, benar-benar bermakna?
Apakah data-data yang kita sajikan sungguh-sungguh memperkuat demokrasi dan melayani kepentingan warga? Atau jangan-jangan, kita hanya terjebak dalam pusaran obsesi akan data, sekadar mengikuti arus politik yang menggiring kita pada manipulasi informasi tanpa kita sadari? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan bagaimana kita mendudukkan statistik secara tepat demi kemajuan bangsa kita.
Dualitas Statistik dalam Ruang Politik
Seperti dua sisi mata uang, statistik dalam politik bisa memiliki wajah yang berbeda. Di satu sisi, ia adalah instrumen pembuktian dan klarifikasi fakta yang tak terbantahkan. Di sisi lain, seperti diingatkan Darrell Huff dalam "How to Lie with Statistics," statistik bisa menjadi alat manipulasi yang berbahaya. Para kandidat politik bisa menggunakan angka untuk membuktikan apapun, bahkan untuk mengelabui publik dengan narasi yang tampak meyakinkan namun sebenarnya tidak tepat dan bisa saja menyesatkan.
Fenomena ini menjadi semakin kompleks dalam konteks politik lokal. Seorang pejabat publik bisa dengan mudah mengklaim bahwa "80 persen masyarakat puas dengan kinerja kepemimpinannya" tanpa menjelaskan metadata atau konteks pengambilan datanya. Statistik pengangguran bisa disajikan sedemikian rupa hingga menciptakan ilusi kesuksesan, padahal menyembunyikan realitas yang lebih kompleks di baliknya.
Dampak Manipulasi terhadap Kualitas Demokrasi
Manipulasi data statistik dalam kancah politik tidak sekadar menciptakan kesalahpahaman sesaat, tetapi secara fundamental merusak kualitas demokrasi kita.
Ketika pemilih terpapar data yang tidak akurat atau sengaja dimanipulasi, proses pengambilan keputusan demokratis menjadi cacat. Situasi ini bisa lebih parah saat media dan saluran informasi publik turut menyebarkan statistik yang problematis tanpa verifikasi memadai.
Thomas Hobbes dalam "Leviathan Or The Matter, Form, and Power of a Common-wealth, Ecclesiastical and Civil" mengingatkan bahwa pengetahuan adalah kunci kekuatan politik. Namun, ketika pengetahuan yang disajikan kepada publik terdistorsi oleh manipulasi statistik, kekuatan politik yang dihasilkan menjadi tidak legitimate. Praktik semacam ini menciptakan lingkaran setan: semakin banyak manipulasi statistik, semakin menurun kepercayaan publik, pada akhirnya berujung pada semakin lemah fondasi demokrasi kita.
Menuju Penggunaan Statistik yang Bermartabat
Jalan keluar dari problematika ini bukanlah dengan menolak statistik secara total, melainkan dengan membangun kesadaran kritis dan literasi statistik yang lebih baik. Kita perlu mengembangkan kemampuan kolektif untuk memahami, menganalisis, dan mempertanyakan data yang disajikan dalam ruang politik. Seperti dikatakan George Orwell, ide tentang kebebasan termasuk di dalamnya adalah "hak untuk mengatakan kepada orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar" - dalam konteks ini, kemampuan untuk mengungkap kebenaran di balik manipulasi statistik.
Lebih dari itu, kita perlu membangun etika politik yang menghargai kejujuran dalam penyajian data. Para kandidat politik perlu menyadari bahwa manipulasi statistik bukan sekadar masalah teknis, melainkan pelanggaran terhadap martabat demokrasi itu sendiri. Hanya dengan kesadaran ini, statistik bisa menjadi alat yang memartabatkan, bukan merendahkan, kualitas demokrasi kita. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.