Opini

Muhasabah Akuntansi

Akuntansi tidak lagi berdiri sebagai sekadar prosedur, tetapi menjadi cermin yang menyingkap integritas individu maupun lembaga.

Editor: Nurhadi Hasbi
istimewa
Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak (Pengamat Ekonomi UNUSIA) 

Oleh: Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak
(Pengamat Ekonomi UNUSIA)

Dalam tradisi Islam, muhasabah selalu ditempatkan sebagai jantung dari etika keberagamaan: sebuah praktik menimbang, mengevaluasi, dan memeriksa diri secara terus-menerus sebelum kelak manusia dihisab di hadapan Allah. 

Perintah “hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah ia persiapkan untuk hari esok” (QS. al-Hasyr:18) tidak sekadar menyeru umat untuk melakukan refleksi spiritual, tetapi juga mendorong terciptanya tata kelola kehidupan yang akuntabel, tertata, dan berorientasi jangka panjang. 

Dalam konteks ini, konsep muhasabah sejalan secara filosofis dengan akuntansi modern, disiplin yang pada dasarnya bertujuan mencatat, mengukur, dan melaporkan realitas agar dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga: BUMN Perlu Reformasi Berkelanjutan

Ketika akuntansi dipandang hanya sebagai teknik pencatatan, ia seakan terjebak pada rutinitas mekanis: debit, kredit, jurnal, laporan keuangan, audit, dan berbagai standar yang mengikat. 

Namun jika akuntansi diletakkan pada landasan filosofis yang lebih dalam, ia berubah menjadi instrumen muhasabah: alat untuk melihat diri, mengungkap kebenaran, dan menguji apakah tindakan ekonomi selaras dengan nilai moral. 

Akuntansi tidak lagi berdiri sebagai sekadar prosedur, tetapi menjadi cermin yang menyingkap integritas individu maupun lembaga.

Dalam sejarah Islam sendiri, konsep muhasabah bukan hanya berbentuk nasihat spiritual. 

Khutbah Umar bin Khattab yang terkenal “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab” adalah peringatan etis sekaligus administratif. Umar dikenal sebagai pemimpin yang menuntut laporan yang transparan, mencatat pemasukan dan pengeluaran negara, memastikan amil tidak mengambil kelebihan, dan menuntut pejabatnya untuk membuat pertanggungjawaban publik. 

Dengan kata lain, muhasabah dalam tradisi Islam telah lama terinstitusionalisasi dalam praktik pemerintahan dan keuangan. Maka, ketika kita membicarakan muhasabah akuntansi, kita tidak sedang memaksakan ajaran agama ke dalam ranah teknis, melainkan membaca bahwa akuntansi sendiri secara filosofis memang selaras dengan nilai-nilai dasar muhasabah.

Di era modern, tantangan akuntansi semakin kompleks. Korupsi, manipulasi laporan keuangan, rekayasa pajak, dan berbagai praktik keuangan yang tidak etis sering kali bukan berasal dari kekurangan pengetahuan teknis, tetapi kerapihan moral. 

Seorang akuntan mungkin memahami seluruh PSAK, IFRS, atau ISA berdasarkan standar internasional, tetapi masih dapat “menghijaukan” laporan atau menyamarkan penyimpangan jika hatinya tidak terdidik oleh muhasabah.

Di titik ini, muhasabah menjadi pagar etis yang tidak dapat digantikan oleh regulasi apa pun. Regulasi dapat mengatur perilaku, tetapi muhasabah mengawal nurani.

Saya memandang bahwa muhasabah akuntansi adalah titik temu antara integritas personal dan sistem tata kelola modern. Dalam konteks perusahaan, muhasabah akuntansi berarti perusahaan tidak hanya mempersiapkan laporan keuangan untuk investor atau auditor, tetapi menempatkan laporan tersebut sebagai bahan refleksi: 

apakah cara memperoleh laba telah sesuai prinsip keberlanjutan? Apakah ada akibat eksternal yang merugikan masyarakat? Apakah perusahaan telah menjalankan tanggung jawab sosialnya, bukan sekadar untuk memenuhi formalitas CSR, tetapi sebagai bentuk konsistensi etis terhadap kesejahteraan stakeholders?

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved