Opini
Diskursus Akuntansi: SDM Beban atau Aset?
Diskursus ini penting untuk menghasilkan sebuah formulasi progresif, baik dalam kajian akuntansi maupun kebijakan publik.
Walaupun standar IFRS belum secara eksplisit memperbolehkan kapitalisasi karyawan sebagai aset, praktik voluntary disclosure tentang pelatihan, kepuasan kerja, dan retensi kini semakin dianggap sebagai kebutuhan reputasional dan strategis.
Fenomena ini menunjukkan paradoks: secara formal karyawan tetap dianggap “beban”, tetapi dalam praktik korporasi mereka diperlakukan dan dilaporkan sebagai “aset”.
Di sinilah akuntansi memainkan peran ideologis: bahasa laporan keuangan membentuk persepsi pemangku kepentingan.
Bila SDM hanya dilihat sebagai beban, logika manajerial cenderung menekankan efisiensi sempit (pemotongan gaji, outsourcing, pengurangan pelatihan).
Sebaliknya, bila SDM diperlakukan sebagai aset strategis, perusahaan lebih terdorong menanamkan investasi jangka panjang pada pengembangan kompetensi, kesehatan mental, dan lingkungan kerja yang inovatif.
Memilih melihat SDM sebagai “beban” atau “aset” adalah pilihan politik dan metodologis yang menentukan.
Akuntansi modern dan kebijakan publik seharusnya mendorong paradigma yang menghargai investasi dalam kompetensi manusia, bukan sekadar pemotongan biaya.
Mengembalikan martabat profesi pengajar dan memasukkan pengembangan kompetensi sebagai bagian tak terpisahkan dari akuntansi publik adalah langkah pragmatis untuk menyeimbangkan efisiensi fiskal dan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan.
Dalam konteks korporasi, kebutuhan ini bahkan lebih nyata. Di tengah kompetisi global berbasis inovasi dan pengetahuan, perusahaan yang hanya melihat SDM sebagai beban jangka pendek justru berisiko kehilangan talenta, reputasi, dan daya saing.
Oleh karena itu, baik negara maupun korporasi perlu menegaskan bahwa investasi pada SDM bukan sekadar retorika moral, melainkan strategi ekonomi jangka panjang.
Kita tidak perlu mengidealkan guru, dosen, atau karyawan sebagai slogan “asset” semata, tetapi yang dibutuhkan adalah praktik pelaporan, kebijakan, dan investasi yang konsisten mencerminkan nilai nyata mereka bagi keberlanjutan organisasi dan bangsa.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.