Opini

Diskursus Akuntansi: SDM Beban atau Aset?

Diskursus ini penting untuk menghasilkan sebuah formulasi progresif, baik dalam kajian akuntansi maupun kebijakan publik.

Editor: Nurhadi Hasbi
Muhammad Aras Prabowo
INTELEKTRUAL MUDA NU - Intelektual muda NU Muhammad Aras Prabowo menilai kebijakan terbaru Bulog wajib membeli Gabah Kering Panen (GKP) petani dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa syarat kualitas adalah langkap positif. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani 

Oleh: Muhammad Aras Prabowo
Ketua Program Studi Akuntansi UNUSIA, Pengamat Ekonomi UNUSIA

SDM adalah beban. Bagi akademisi, profesional dan mahasiswa akuntansi pernyataan tersebut adalah hal yang bisa. SDM dalam Pemerintahan dan Korporasi terbiasa mereka perlakuan atau akui dalam ilmu akuntansi sebagai beban dengan wujud Beban Gaji dalam siklus akuntansi. 

Namun, akan sangat berbeda jika SDM sebagai beban dilontarkan sebagai pernyataan publik. Pandangan sudah multiparadigma, tidak lagi soal akuntansi saja, tapi terkait dengan politik ekonomi.

Lantas, bagaimana kita mendudukkan sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka akuntansi dan kebijakan publik?

Perdebatan SDM sebagai beban sudah lama terjadi, begitu pula wacana tentang beban fiskal versus investasi manusia tetap relevan.

Diskursus ini penting untuk menghasilkan sebuah formulasi yang progresif, baik dalam kajian akuntansi maupun kebijakan publik.

Apalagi dengan pelantikan Menteri Keuangan yang baru Purbaya Yudhi Sadewa, dia memiliki otoritas regulasi soal ini.

Dalam praktik akuntansi modern, SDM hampir selalu diperlakukan sebagai beban: penggajian, tunjangan, dan beban operasional dicatat pada laporan laba rugi.

Ini bukan sekadar pilihan leksikal, standar akuntansi internasional menolak pengakuan karyawan sebagai aset karena kriteria kontrol dan manfaat ekonomi yang dapat diukur sulit dipenuhi (karyawan dapat berhenti, keterampilan sering tidak dapat dipindahkan sebagai properti yang dikendalikan entitas). 

Kritik terhadap perlakuan ini tegas: menyebut SDM “beban” bisa memperkuat kebijakan penghematan yang merusak investasi jangka panjang pada kompetensi dan kualitas publik.

Namun, wacana akademik dan kebijakan cenderung bergerak menuju reframing: human capital sebagai aset strategis.

World Economic Forum dan sejumlah studi menyoroti kerangka untuk memperlakukan modal manusia sebagai aset yang layak dimonitor, diinvestasikan, dan dievaluasi, bukan hanya sebagai beban pada anggaran tahun berjalan. 

Pendekatan ini tidak selalu menuntut pengakuan formal di neraca menurut standar saat ini, melainkan pelaporan yang lebih informatif tentang investasi SDM, metrik kinerja pendidikan, dan pengembalian sosial-ekonomi dari pengembangan kompetensi.

Konsekuensi praktis: menyebut “karyawan adalah aset” bukan untuk menyamakan mereka dengan mesin yang dimiliki, melainkan untuk menggeser paradigma kebijakan.

Bila guru dipandang sebagai aset publik, maka penganggaran pendidikan harus diposisikan sebagai investasi (capex sosial), pembiayaan untuk pelatihan, career path, supervisor berkualitas, dan infrastruktur pedagogis yang meningkatkan produktivitas jangka panjang.

Literatur akuntansi sumber daya manusia sejak lama mengadvokasi pengukuran dan pelaporan investasi dalam rekrutmen, pelatihan, dan retensi sebagai input strategis organisasi.

Tentu ada argumen kontra: dari sudut fiskal, negara menghadapi keterbatasan anggaran dan tekanan defisit; debat tentang efisiensi pengeluaran publik sah. 

Namun framing yang menyederhanakan guru menjadi “beban” berisiko politisasi anggaran, mengabaikan nilai eksternalitas positif pendidikan: peningkatan produktivitas tenaga kerja, pengurangan ketimpangan, dan stabilitas sosial yang justru menurunkan beban fiskal jangka panjang.

Kritik kebijakan yang dewasa harus menggabungkan analisis biaya-manfaat jangka panjang, bukan retorika singkat.

Rekomendasi kebijakan dan akuntansi praktis: pertama, pemerintah perlu memperluas metrik pelaporan keuangan publik dengan indikator investasi SDM, misalnya pengeluaran untuk pelatihan per guru, rasio pelatihan/sertifikasi, retensi, dan outcome pembelajaran.

Sehingga anggaran pendidikan dinilai dalam kerangka pengembalian investasi sosial. 

Kedua, lembaga pendidikan mesti membuat program pengembangan kompetensi berkelanjutan yang terukur; akuntansi manajerial harus memasukkan biaya manfaat pelatihan sebagai bagian dari perencanaan strategis. 

Ketiga, diskursus publik perlu diluruskan: gunakan terminologi yang akurat (investasi vs beban) dan lawan disinformasi yang merusak moral guru.

Wacana SDM sebagai “beban” atau “aset” bukan hanya relevan dalam kebijakan publik, tetapi juga dalam dunia korporasi.

Dalam laporan keuangan perusahaan yang mengikuti International Financial Reporting Standards (IFRS), karyawan umumnya diposisikan sebagai beban operasional. 

Gaji, bonus, tunjangan, bahkan biaya pelatihan dicatat sebagai expense. Padahal, literatur manajemen strategis menegaskan bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan sering kali bersumber dari pengetahuan, keterampilan, dan budaya organisasi yang dimiliki karyawan, bukan dari aset fisik semata.

Perusahaan besar seperti Google, Microsoft, atau Toyota telah membuktikan bahwa investasi jangka panjang pada pengembangan SDM memberikan pengembalian yang signifikan. 

Toyota dengan lean management menempatkan pekerja sebagai agen inovasi, bukan sekadar faktor produksi. Google mengalokasikan anggaran besar untuk employee development dan workplace well-being, karena mereka sadar bahwa kreativitas dan retensi talenta adalah aset yang lebih berharga dibandingkan sekadar penghematan biaya jangka pendek.

Kesenjangan antara praktik akuntansi dan realitas strategis ini telah lama menjadi sorotan akademik. Guthrie & Murthy (2009) serta Lev (2001) menyoroti bahwa laporan keuangan konvensional gagal menangkap nilai intangible asset seperti human capital.

Dalam literatur akuntansi, inilah yang mendorong munculnya intellectual capital reporting dan integrated reporting yang berusaha memasukkan dimensi non-keuangan termasuk SDM ke dalam narasi korporasi. 

Walaupun standar IFRS belum secara eksplisit memperbolehkan kapitalisasi karyawan sebagai aset, praktik voluntary disclosure tentang pelatihan, kepuasan kerja, dan retensi kini semakin dianggap sebagai kebutuhan reputasional dan strategis.

Fenomena ini menunjukkan paradoks: secara formal karyawan tetap dianggap “beban”, tetapi dalam praktik korporasi mereka diperlakukan dan dilaporkan sebagai “aset”.

Di sinilah akuntansi memainkan peran ideologis: bahasa laporan keuangan membentuk persepsi pemangku kepentingan. 

Bila SDM hanya dilihat sebagai beban, logika manajerial cenderung menekankan efisiensi sempit (pemotongan gaji, outsourcing, pengurangan pelatihan).

Sebaliknya, bila SDM diperlakukan sebagai aset strategis, perusahaan lebih terdorong menanamkan investasi jangka panjang pada pengembangan kompetensi, kesehatan mental, dan lingkungan kerja yang inovatif.

Memilih melihat SDM sebagai “beban” atau “aset” adalah pilihan politik dan metodologis yang menentukan.

Akuntansi modern dan kebijakan publik seharusnya mendorong paradigma yang menghargai investasi dalam kompetensi manusia, bukan sekadar pemotongan biaya. 

Mengembalikan martabat profesi pengajar dan memasukkan pengembangan kompetensi sebagai bagian tak terpisahkan dari akuntansi publik adalah langkah pragmatis untuk menyeimbangkan efisiensi fiskal dan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan.

Dalam konteks korporasi, kebutuhan ini bahkan lebih nyata. Di tengah kompetisi global berbasis inovasi dan pengetahuan, perusahaan yang hanya melihat SDM sebagai beban jangka pendek justru berisiko kehilangan talenta, reputasi, dan daya saing. 

Oleh karena itu, baik negara maupun korporasi perlu menegaskan bahwa investasi pada SDM bukan sekadar retorika moral, melainkan strategi ekonomi jangka panjang.

Kita tidak perlu mengidealkan guru, dosen, atau karyawan sebagai slogan “asset” semata, tetapi yang dibutuhkan adalah praktik pelaporan, kebijakan, dan investasi yang konsisten mencerminkan nilai nyata mereka bagi keberlanjutan organisasi dan bangsa.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Guru Bukanlah Petruk Dadi Ratu

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved