Fakta Perempuan

WHO Ungkap Fakta Memprihatinkan Kondisi Perempuan di Dunia

Dari laporan tersebut, terungkap 840 juta perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan.

Editor: Nurhadi Hasbi
ilustrasi AI
KEKERASAN - Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan masih menjadi perhatian WHO 
Ringkasan Berita:
  • WHO ungkap 840 juta perempuan pernah mengalami kekerasan.
  • Angka kekerasan stagnan selama 20 tahun terakhir.
  • WHO menyerukan aksi global untuk perlindungan dan pemulihan perempuan.

 

TRIBUN-SULBAR.COM - WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia merilis fakta terbaru tentang perempuan.

Fakta tersebut dirilis setelah melalui riset bersama sejumlah perwakilan badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Dalam laporan WHO, perempuan masih menunjukan situasi yang stagnan dan krisis kesehatan masyarakat serta hak asasi paling mendesak.

Baca juga: WHO: 1 Miliar Orang di Dunia Alami Gangguan Kesehatan Mental, Cemas dan Depresi

Baca juga: 60 Juta Orang Perokok Aktif di Indonesia, Ini Kata Eks Dirketur WHO

Dari laporan tersebut, terungkap 840 juta perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan.

Atau, hampir satu dari tiga, pernah mengalami kekerasan pasangan intim atau kekerasan seksual sepanjang hidup mereka. 

WHO menilai kondisi ini kritis dan memprihatinkan, karena angkanya nyaris tidak berubah dalam dua dekade atau 20 tahun terakhir.

Menurut WHO, ini menggambarkan betapa lambatnya perkembangan pencegahan maupun penanganan kekerasan berbasis gender.

Dalam kurun waktu 12 bulan terakhir saja, 316 juta perempuan berusia 15 tahun ke atas tercatat sebagai korban kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim. 

WHO menilai kondisi ini merupakan sinyal kuat bahwa upaya global masih belum memberi dampak signifikan.

Risiko Kekerasan Terjadi Sepanjang Siklus Kehidupan Perempuan

WHO menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada satu fase usia.

Tetapi, kekerasan dapat mengikuti seseorang sepanjang hidupnya.

Data menunjukkan bahwa dalam satu tahun terakhir terdapat 12,5 juta remaja perempuan usia 15 hingga 19 tahun, atau sekitar 16 persen, mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari pasangan intim.

Risiko yang tinggi pada kelompok remaja ini menunjukkan pentingnya intervensi yang dimulai sejak dini.

Baik melalui pendidikan hubungan sehat, layanan dukungan psikososial ramah remaja, hingga perlindungan hukum yang lebih kuat.

Dampak Kesehatan Serius: Dari Kehamilan Tidak Diinginkan hingga Depresi

Kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual membawa dampak kesehatan yang kompleks dan berkelanjutan. 

WHO menekankan bahwa perempuan korban kekerasan lebih rentan mengalami

kehamilan tidak diinginkan, infeksi menular seksual, depresi dan gangguan kesehatan mental, dan trauma jangka panjang yang memengaruhi fungsi sosial dan kualitas hidup.

Selain itu, layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi pintu pertama yang memungkinkan para penyintas mendapatkan perawatan, konseling, serta rujukan layanan hukum atau sosial.

Kekerasan Lebih Berat di Negara Rentan dan Terdampak Konflik
Krisis kemanusiaan, perubahan iklim, serta ketimpangan sosial-ekonomi menjadi faktor yang memperburuk risiko kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa wilayah menunjukkan angka prevalensi kekerasan yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global. 

Oseania (di luar Australia dan Selandia Baru) mencatat angka 38 persen korban kekerasan pasangan dalam setahun terakhir, lebih dari tiga kali lipat rata-rata dunia yang berada pada level 11 persen.

Wilayah dengan konflik berkepanjangan, kesenjangan ekonomi ekstrem, dan akses layanan publik terbatas juga menunjukkan dampak yang tidak proporsional. 

Perempuan penyandang disabilitas, perempuan adat, dan perempuan migran bahkan menghadapi kerentanan berlapis karena diskriminasi struktural dan akses layanan kesehatan yang tidak setara.

Melalui laporan ini, WHO dan mitra PBB menyerukan tindakan mendesak dari pemerintah di seluruh dunia.

Seruan tersebut mencakup:

1. Meningkatkan program pencegahan berbasis bukti yang dapat diterapkan sejak usia muda

2. Memperkuat layanan kesehatan, sosial, dan hukum yang berfokus pada penyintas dan ramah perempuan

3. Meningkatkan investasi sistem data, khususnya pada perempuan dari kelompok rentan

4. Menegakkan hukum dan kebijakan yang memberdayakan perempuan dan anak perempuan

5. Merespons kebutuhan penyintas di daerah konflik dan bencana

Kekerasan berbasis gender bukan hanya masalah statistik, tetapi persoalan kesehatan, keadilan, dan martabat manusia.

Upaya pencegahan, pemulihan, dan pemberdayaan perlu dilakukan lintas sektor, lintas negara, dan lintas generasi agar kekerasan ini tidak lagi menjadi realitas turun-temurun.

Laporan ini sebelumnya terbut di Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved