Demo Nakes PPPK
Jerit Hati Jumiriah 19 Tahun Nakes di Mamuju Gaji Rp180 Ribu per Bulan Gagal Jadi PPPK Paruh Waktu
Meski tak berstatus pegawai resmi, Jumiriah tetap datang setiap hari ke puskesmas. Upah yang diterimanya bahkan tak layak disebut gaji.
Penulis: Suandi | Editor: Ilham Mulyawan
TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Jumiriah (37) tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (12/9/2025).
Jumiriah adalah seorang Nakes (tenaga Kesehatan) yang sudah mengabdi selama 19 tahun di Mamuju.
Bersama nakes-nakes lainnya, dia mengungkapkan keluh kesahnya karena tidak terakomodir menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh Waktu Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.
Sejak 2006, Jumiriah telah bekerja sebagai nakes sebelum diangkat sebagai tenaga kontrak pada 2012.
Sayangnya hingga kini, statusnya tak pernah jelas.
Baca juga: Kendala Anggaran Alasan Pemkab Mamuju Tidak Akomodir 1.550 Nakes Jadi PPPK Paruh Waktu
Baca juga: Dinkes Ungkap 1.550 Nakes di Mamuju Tak Lolos PPPK Paruh Waktu, Kadis Sebut Tunggu Permintaan BKD
“Saya tidak punya SK lagi sejak 2023. Jadi tidak bisa diusulkan jadi PPPK. Padahal saya tetap aktif bekerja sampai sekarang,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Meski tak berstatus pegawai resmi, Jumiriah tetap datang setiap hari ke puskesmas.
Upah yang diterimanya bahkan tak layak disebut gaji.
Ia hanya mendapat sumbangan dari para ASN di puskesmas tempatnya bekerja.
Jumlahnya pun jauh dari cukup.
“Kalau hadir penuh, paling tinggi Rp180 ribu sebulan. Kadang hanya Rp100 ribu,” ujarnya lirih.
Nominal itu, kata dia, bahkan tak cukup untuk biaya transportasi, apalagi kebutuhan keluarga.

Namun, demi dedikasi, Jumiriah memilih bertahan.
Kenangan masa pandemi Covid-19 masih jelas di benak Jumiriah.
Bersama rekan-rekan nakes, ia berdiri di garda terdepan menghadapi ancaman virus mematikan itu.
“Dulu saat pandemi, kami yang jadi ujung tombak. Tapi sekarang seperti dilupakan,” katanya.
Jumiriah mengaku kecewa karena pemerintah kabupaten tidak mengusulkan dirinya dan ratusan nakes lain ke formasi PPPK paruh waktu tahun ini.
Rasa ketidakadilan semakin dirasakan.
Jumiriah menuturkan, beban kerja yang dijalani sama beratnya dengan ASN, tetapi kesejahteraan mereka sangat timpang.
“Kami sama-sama melayani pasien. Tapi ASN digaji, kami tidak. Bedanya hanya di status, tapi kerjaannya sama,” katanya.
Dengan suara parau, ia menyampaikan satu harapan sederhana: agar pemerintah membuka mata terhadap nasib nakes seperti dirinya.
“Kami hanya minta diusulkan jadi PPPK. Nakes itu jantungnya Indonesia. Kalau tidak ada nakes, Indonesia sakit,” tutur Jumiriah.
Kendala Anggaran
Kepala Bidang Pengadaan, Pemberhentian, dan Informasi BKD Mamuju, Hasriadi mengungkapkan penyabab Tenaga kesehatan (Nakes) tidak diusulkan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh Waktu Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.
Hasriadi menuturkan alasannya bukan karena persoalan prioritas, tetapi keterbatasan anggaran daerah.
“Itu masalah anggaran. Bukan karena tidak diprioritaskan. Kami tetap berusaha mencari jalan keluarnya,” kata Hasriadi saat ditemui di Gedung DPRD Mamuju, Jl Jendral Ahmad Yani, Keluruhan Binanga, Kecamatan Mamuju, Jumat (12/9/2025).
Hasriadi menyebut pihaknya bersama DPRD Mamuju akan segera menggelar rapat untuk membahas permintaan para nakes.
Namun, ia belum bisa memastikan hasilnya.

“Saya belum bisa memberi kepastian apakah bisa diakomodir atau tidak. Nanti setelah rapat baru bisa kami sampaikan,” ujarnya.
Sebanyak 1.550 Tenaga kesehatan (Nakes) di Mamuju, Sulawesi Barat tidak terakomodir Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu.
Sehingga mereka mengadukan nasibnya di Gedung DPRD Mamuju, Jumat (12/9/2025).
Para nakes menghadapi ketidakpastian setelah tidak diakomodir dalam penerimaan tahun ini.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Mamuju, dr. Sita Harit Ibrahim, mengungkapkan saat ini terdapat 990 nakes aktif yang masuk dalam data base.
Namun ada juga 560 nakes lainnya tidak terdata.
Total nakes yang ada di Mamuju sebanyak 1.550 orang. Dari jumlah itu, yang memiliki SK dan masuk data base jumlahnya 990,” jelas Sita, Jumat, saat ditemui di Gedung DPRD Mamuju, Jl Jendral Ahmad Yani, Keluruhan Binanga, Kecamatan Mamuju, Jumat (12/9/2025).
Menurut Sita, pihaknya sebenarnya telah mendata seluruh nakes aktif.
Namun, pengusulan untuk formasi PPPK tidak dilakukan oleh Dinkes, melainkan menunggu permintaan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
“Kami tidak melakukan pengusulan karena memang tidak diminta oleh BKD. Tapi data semua teman-teman nakes tetap kami simpan. Kalau suatu saat diminta, bisa kami ajukan,” tambahnya.
Lebih memprihatinkan, kata Sita, dari total 867 orang yang lulus PPPK paruh waktu di Mamuju, tidak ada satupun berasal dari tenaga kesehatan.
Justru, yang diterima sebagian besar berasal dari tenaga teknis kesehatan dengan jumlah hanya sembilan orang.
“Kami berharap ke depan ada kejelasan untuk teman-teman nakes, agar mereka juga bisa diusulkan dan mendapatkan hak yang sama,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Gedung DPRD Kabupaten Mamuju, Jl Jendral Ahmad Yani, Keluruhan Binanga, Kecamatan Mamuju, Sulawesi Barat didatangi tenaga kesehatan (nakes) pada Jumat (12/9/2025).
Kedatangan mereka menyampaikan aspirasi yang sudah lama terpendam terkait kebijakan penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu.
Mereka merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil karena tidak diakomodasi dalam formasi PPPK paruh Waktu tahun ini.
Berbeda dengan guru yang jumlahnya cukup banyak direkrut pemerintah.
Kondisi ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan perawat dan bidan yang telah bertahun-tahun mengabdi di puskesmas maupun fasilitas kesehatan di Mamuju.
Seorang bidan dari Puskesmas Tampa Padang, Evi, tak kuasa menahan air matanya saat menyampaikan keluhan di hadapan wakil rakyat.
Dengan suara bergetar, ia menuturkan dirinya bersama rekan-rekan seprofesi hanya ingin mendapatkan kepastian nasib setelah lama mengabdikan diri di pelosok daerah.
“Iya, kita di sini perawat dan bidan dari Puskesmas-puskesmas di Mamuju. Kami datang untuk menyampaikan aspirasi, karena sampai hari ini seolah-olah tenaga kesehatan dianaktirikan dibanding guru,” kata Evi.
Pantauan di lokasi, suasana haru tak terhindarkan.
Beberapa tenaga kesehatan bahkan menitikkan air mata ketika mengungkapkan kekecewaan mereka.
Mereka menilai pemerintah seolah menutup mata terhadap kontribusi nakes yang selama ini menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat.
Mereka berharap DPRD Mamuju dapat menjadi jembatan untuk menyuarakan persoalan ini ke pemerintah daerah, bahkan hingga tingkat pusat.
“Bukan kami tidak ikhlas melayani masyarakat, tapi kami juga punya keluarga, punya tanggung jawab, dan butuh kepastian status kerja. Kami ingin diperlakukan sama seperti profesi lain,” ujar seorang perawat yang ikut hadir. (*)
Laporan Wartawan Tribun-Sulbar.com, Suandi
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.