Opini
Ekspansi Iman dan Batas Kemanusiaan
Jika dakwah hanya dipahami sebagai kompetisi ajakan, ia bisa menjelma menjadi perebutan pengikut. Padahal, iman sejati bukanlah hasil kompetisi
Lantas, bagaimana mengelola ekosistem dakwah di tengah keragaman? Kuncinya ada pada orientasi.
Dakwah tidak boleh berhenti pada semangat ekspansi kuantitatif, tetapi harus digeser menjadi praksis etis: membangun peradaban kasih, keadilan, dan keindahan hidup bersama.
Dakwah yang berorientasi pada kebajikan universal akan diterima bahkan oleh mereka yang berbeda iman, sebab ia tidak mengancam, melainkan menguatkan kemanusiaan.
Indonesia, dengan ratusan etnis dan berbagai agama, sebenarnya adalah laboratorium alami bagi gagasan ini.
Kita bisa belajar bahwa ekspansi iman tidak harus berujung pada dominasi, tetapi dapat dikelola sebagai energi kultural yang memperkaya.
Pengalaman Pancasila, musyawarah, dan gotong royong adalah bukti bahwa iman bisa hadir dalam ruang publik tanpa harus meniadakan yang lain.
Pada titik ini, kita belajar mengurai dilema: ekspansi iman tidak harus berakhir pada benturan, jika disandarkan pada penghormatan terhadap martabat manusia.
Agama memang membawa misi meluas, tetapi batasnya jelas: jangan pernah melampaui kebebasan orang lain untuk tetap memilih imannya sendiri.
Di ruang inilah, iman menemukan wajah terbaiknya: bukan sebagai alat perebutan, melainkan sebagai energi pengayaan kemanusiaan.
Sebab, iman yang benar tidak takut pada perbedaan, dan kemanusiaan yang sejati tidak pernah lahir dari paksaan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.