Opini

Ekspansi Iman dan Batas Kemanusiaan

Jika dakwah hanya dipahami sebagai kompetisi ajakan, ia bisa menjelma menjadi perebutan pengikut. Padahal, iman sejati bukanlah hasil kompetisi

Editor: Ilham Mulyawan
Ist/Tribun-Sulbar.com
Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sulbar, Nur Salim Ismail. 

Oleh: Nur Salim Ismail

TRIBUN-SULBAR.COM - Ada satu dilema abadi yang mengiringi kehidupan beragama: setiap iman mengandung semangat ekspansi. 

Dakwah dalam Islam, misi homili dalam Kristen, dan ajaran serupa dalam agama lain, seluruhnya memiliki panggilan universal. 

Seakan-akan, setiap tradisi keagamaan menyimpan dorongan untuk merangkul semesta. Namun di balik itu, ada benturan potensial: bagaimana membedakan antara panggilan iman dan hak kemanusiaan orang lain untuk tetap dalam keyakinannya?

Dakwah, secara substansi, adalah seruan kebenaran. 

Dalam Islam, ia dimaknai sebagai panggilan untuk mengakui Tuhan Yang Esa dan mengikuti jalan-Nya. 

Namun kita pun tahu, iman adalah ranah personal, keputusan yang lahir dari ruang batin terdalam manusia. 

Jika dakwah hanya dipahami sebagai kompetisi ajakan, ia bisa menjelma menjadi perebutan pengikut. Padahal, iman sejati bukanlah hasil kompetisi, melainkan kesaksian nurani.

Hal yang sama juga kita temukan dalam tradisi agama lain. 

Homili Kristen, misalnya, mengandung ajakan untuk menerima Yesus sebagai penyelamat. 

Tradisi Buddhis pun mengenal misi penyebaran Dharma. Secara kultural, hampir semua agama menyimpan mandat universal. 

Tetapi, mandat itu sering kali berhadapan dengan realitas: dunia dihuni oleh keragaman keyakinan yang tak bisa dipaksakan menjadi seragam.

Sejarah membuktikan bahwa semangat ekspansi iman pernah melahirkan wajah ganda. 

Pada satu sisi, ia melahirkan peradaban besar: universitas, ilmu pengetahuan, seni, bahkan tata hukum. 

Pada sisi lain, ekspansi iman juga pernah berubah menjadi sumber konflik: perang salib, kolonialisme berbaju misi, hingga kekerasan sektarian di berbagai belahan dunia. Dengan demikian, dilema ekspansi iman bukanlah soal teoretis semata, melainkan nyata dalam sejarah panjang umat manusia.

Di sinilah letak batas kemanusiaan. 

Agama memang boleh membawa misi ekspansi, tetapi ekspansi itu tidak boleh melanggar kebebasan iman orang lain. 

Karena iman yang lahir dari paksaan bukanlah iman, melainkan sekadar keterpaksaan. 

Batas kemanusiaan mengingatkan kita bahwa ada ruang yang tidak dapat diganggu: hak setiap manusia untuk berketuhanan menurut jalannya.

Filsuf Jürgen Habermas pernah menyinggung bahwa dunia modern kini memasuki fase post-secular society. 

Agama, menurutnya, tetap relevan hadir di ruang publik, tetapi mesti bersedia berkomunikasi dengan bahasa yang dapat dipahami lintas iman dan nalar universal. 

Artinya, dakwah tidak boleh hanya mengandaikan penerimaan total atas keyakinan tertentu, melainkan juga membuka ruang dialog, argumentasi, dan koeksistensi.

Pandangan ini sejalan dengan gagasan teolog Hans Küng tentang Global Ethic. 

Ia menekankan bahwa semua agama, meski berbeda doktrin dan ritus, memiliki basis etika bersama: penghormatan martabat manusia, keadilan, dan larangan kekerasan. 

Maka, ekspansi iman bukan pertama-tama tentang merebut pengikut, melainkan menguatkan komitmen bersama menjaga kehidupan.

Persoalan kita hari ini semakin kompleks karena ekspansi iman tidak lagi berjalan melalui mimbar dan podium semata, tetapi juga melalui media sosial, algoritma digital, dan jejaring global. 

Dakwah kini bisa menjangkau jutaan orang hanya dengan satu unggahan video. 

Homili bisa melintas batas negara hanya dengan sekali siaran daring. 

Tetapi di balik itu, ada pula risiko polarisasi: ujaran kebencian, klaim kebenaran tunggal, bahkan ujaran yang merendahkan iman lain. 

Ekspansi iman di ruang digital ini menuntut kedewasaan baru: bahwa setiap kata yang dilemparkan ke ruang maya bisa berdampak pada harmoni nyata di ruang sosial.

Lantas, bagaimana mengelola ekosistem dakwah di tengah keragaman? Kuncinya ada pada orientasi. 

Dakwah tidak boleh berhenti pada semangat ekspansi kuantitatif, tetapi harus digeser menjadi praksis etis: membangun peradaban kasih, keadilan, dan keindahan hidup bersama. 

Dakwah yang berorientasi pada kebajikan universal akan diterima bahkan oleh mereka yang berbeda iman, sebab ia tidak mengancam, melainkan menguatkan kemanusiaan.

Indonesia, dengan ratusan etnis dan berbagai agama, sebenarnya adalah laboratorium alami bagi gagasan ini. 

Kita bisa belajar bahwa ekspansi iman tidak harus berujung pada dominasi, tetapi dapat dikelola sebagai energi kultural yang memperkaya. 

Pengalaman Pancasila, musyawarah, dan gotong royong adalah bukti bahwa iman bisa hadir dalam ruang publik tanpa harus meniadakan yang lain.

Pada titik ini, kita belajar mengurai dilema: ekspansi iman tidak harus berakhir pada benturan, jika disandarkan pada penghormatan terhadap martabat manusia. 

Agama memang membawa misi meluas, tetapi batasnya jelas: jangan pernah melampaui kebebasan orang lain untuk tetap memilih imannya sendiri.

Di ruang inilah, iman menemukan wajah terbaiknya: bukan sebagai alat perebutan, melainkan sebagai energi pengayaan kemanusiaan. 

Sebab, iman yang benar tidak takut pada perbedaan, dan kemanusiaan yang sejati tidak pernah lahir dari paksaan. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved