Opini
Makna Merdeka dalam Pengelolaan Pajak
Pasal 23A UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Oleh : Makna Merdeka dalam Pengelolaan Pajak
Guru Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UNS
TRIBUN-SULBAR.COM- Pajak bukan sekadar kewajiban rutin yang membebani kantong warga. Dalam perspektif konstitusi, ia adalah wujud nyata kontrak sosial antara rakyat dan negara. Di balik angka-angka penerimaan dan belanja negara, tersimpan makna filosofis yang mengakar pada Pancasila dan prinsip kedaulatan rakyat.
Pajak sebagai Kontrak Sosial
Pasal 23A UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Rumusan ini menandakan tiga hal penting: pemungutan pajak harus melalui mekanisme demokratis, hanya untuk kepentingan publik, dan dilaksanakan dengan legitimasi hukum.
Di sinilah kedaulatan rakyat berperan—pajak tidak lahir dari keputusan sepihak pemerintah, tetapi melalui persetujuan wakil rakyat di DPR. Dengan membayar pajak, warga negara menyerahkan sebagian penghasilan kepadanegara untuk dikelola demi kesejahteraan bersama.
Sebaliknya, negara berkewajiban menggunakan dana itu secara transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.Kontrak sosial ini hanya akan kokoh jika kedua belah pihak memegang komitmennya.
Ruh Pancasila dalam Pemungutan Pajak
Pancasila memberi arah moral bagi kebijakan pajak. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menuntut agar beban pajak dibagi secara proporsional dengan kemampuan membayar. Prinsip ini melandasi penerapan pajak progresif yang lebih besar untuk kelompok berpendapatan tinggi, sekaligus memberikan perlindungan dan insentif bagi kelompok berpenghasilan rendah serta pelaku usaha kecil.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengingatkan bahwa pajak bukan hanya sumber dana, tetapi juga instrumen perekat kebangsaan. Dana yang terkumpul harus digunakan untuk pemerataan pembangunan dari kota besar hingga pelosok, mengurangi kesenjanganantarwilayah, dan memastikan setiap warga merasakan manfaat pembangunan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menegaskan bahwa pemungutan dan pengelolaan pajak harus menghormati martabat manusia. Artinya, kebijakan pajak tidak boleh diskriminatif atau membebani kelompok yang lemah secara ekonomi. Sementara sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntut agar pengelolaan pajak dilakukan dengan amanah dan integritas moral, mencegah penyalahgunaan, dan memastikan setiap rupiah kembali pada kemaslahatan umum.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, memberi pesan bahwa kebijakan pajak harus lahir dari proses demokratis yang melibatkan wakil rakyat dan partisipasi publik. Dengan demikian, legitimasi pajak tidak hanya datang dari hukum tertulis, tetapi juga dari rasa keadilan yang dirasakan masyarakat.
Prinsip Kunci Pengelolaan Pajak Berbasis Kedaulatan Rakyat
Pengelolaan pajak yang berpijak pada kedaulatan rakyat memerlukan beberapa prinsip kunci yang tak bisa diabaikan. Pertama, asas legalitas, yakni setiap pungutan pajak hanya sah jika diatur dengan undang-undang yang disetujui bersama melalui DPR, sehingga tidak ada ruang bagi pungutan sewenang-wenang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.