Opini

Menanti Edukasi Mengibarkan Panji

Kaum penghamba kekuasaan menyerukan semboyan pendidikan adalah parameter kemajuan suatu bangsa

|
Editor: Abd Rahman
Istimewa
OPINI - Mukhlis Mustofa, Dosen PGSD FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakartat 

Oleh : Mukhlis Mustofa

Dosen FKIP UNISRI Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama'atul Ikhwan Surakarta  


TRIBUN-SULBAR.COM- Kehebohan pengibaran bendera one piece menjadi hajatan luar biasa ditengah euphoria sebrasi negeri di bulan proklamasi ini. Pertanyaannya jika bendera anime sudah menjadi isu sentral dan mengubah “arah” kebijakan sementara karena kritikan berkepanjangan. Apakah Pendidikan memerlukan mengibarkan panji tersendiri untuk kemerdekaan edukasi. Persepsi ini bukan sekedar isapan jempol semata.

Bagaimanakah memperlakukan pendidikan dalam laku pengelolaan kebangsaan mensejahteraan menjadi pertanyaan menjelang hari raya kemerdekaan khususnya tahun ini. Percepat Pendidikan tak kunjung tercapai apakah memerlukan pengibaran bendera penolaka nampaknya diperlulkan menunjukkan bagaimanakah memperlakukan pendidikan negeri ini. 

Fenomena tersebut tidak ubahnya Ekspeksi liar dalam memposisikan perlakukan pada pendidikan kita. Hakikat pendidikan sebuah Negara menunjukkan bagaimanakah habit pendidikan sebuah negeri. Memperbincangkan pendidikan di negeri ini laksana tamasya di negeri antah berantah tidak ubahnya masuk kotak Pandora tiada ujung.

Permasalahan pendidikan negeri ini teramat kompleks dan tidak jarang menumbuhkan apatisme dibandingkan optimisme menatap masa depan. Krisis fundamental yang menggejala pendidikan di Indonesia adalah alienasi terhadap tujuan pendidikan sebagai humanisasi. 

Pendidikan pun turun kasta menjadi pengajaran yang menjadikan capaian kognitif-akademik sebagai output tunggal (Dharma kesuma dan teguh ibrahim, 2016;V). Ditengah negeri penuh slogan pendidikanpun terlampau berat menyandang beban.

Kaum penghamba kekuasaan menyerukan semboyan pendidikan adalah parameter kemajuan suatu bangsa, disisi lain kaum oportunistik mempertontokan betapa bonus demografi tahun 2045 akan menjadikan bangsa ini sedemikian kuat dengan produktifitas tinggi dan tentunya menggunakan kurikulum terkini. 

Bukannya pesismis menghadapi masa depan pendidikan namun tanpa disadari beban pendidikan sedemikian menggurita seakan patah tumbuh hilang berganti bahkan analoginya belum patah maka tuntutan berganti lebih mengemuka.

Pendidikan keteladanan

Perspektif pendidikan tidak menemukan telaah komprehensif dan mengakibatkan semua pihak merasa mahir untuk mengkritisi pendidikan tanpa melihat ekses berkepenjangan di masa mendatang. Peradaban pendidikan di negeri ini sedemikian banal sehingga permasalahan kuman menggurita layaknya gajah besar dengan permasalahan semakin membesar. 

Hakikat pendidikan sebagai elemen pencerdasan manusia tidak pernah dijabarkan dengan linieritas kebijakan pendidikan dalam segenap aspek terkait. Risalah dari konsepsi pendidikan sepeti ditawarkan Ki Hajar Dewantara menekankan aspek keteladanan sebagai hakikat pokok pencerdasan tidak pernah dieksplorasi menyeluruh dan pada akhirnya mempengaruhi kejumudan kebijakan pendidikan bersangkutan.

Permasalahan ini kian pelik mengingat mengelola pendidikan tidak ubahnya mengelola isi kepala manusia tidak semata-mata menghasilkan produk kasat mata. Pengelolaan pendidikkan selama inipun tidak menunjukkan betapa peradaban manusia dijunjung sesuai harkat dan martabatnya. Pengambil kebijakan tidak mempertontonkan bagaimana pencerdasan anak bangsa ini diberlakukan namun mengambil perspektif mentalitas industrialis penuh nuansa kapitalis. 

perspektif ini bertentangan dengan konsep Fraire bahwa manusia harus senantiasa melakukan praxis, yakni tindakan reflektif diatas dunia dengan tujuan merubahnya lebih baik (Dharma kesuma dan teguh ibrahim, 2016;V). Berpijak tulisan Donie Koesoema di beberapa opini HU Kompas bahwa pengelolaan pendidikan konteks kekinian lebih mengedepankan mentalitas pabrik akan terlihat sedemikan nyata dalam kebijakan pendidikan di negeri ini. 

Pabrikisasi siswa terjadi sedemikian massif dan perspektif publik tergiring bertahun–tahun tanpa ada upaya mengkritisinya. Keberadaan standar nilai kelulusan baik pada penilaian harian hingga tingkatan Ujian Nasional membuktikan betapa pabrikisasi ini telah berlangsung akut. 

Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka semakin tinggi pula kualitas siswa bersangkutan tidak lebih melecehkan siswa dengan mempersamakan benda hidup dengan hasil produksi pabrik. Minimnya pemahaman keteladanan pendidikan berimbas pula pada pola pengambilan kebijakan pendidikan. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved