Opini

Data Warga Dikuasai Asing Bukti Negara Langgar Konstitusional? 

perlindungan data pribadi tidak lagi cukup dipandang sebagai persoalan privasi individu semata menjadi persoalan kedaulatan negara

Editor: Ilham Mulyawan
dok Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H.,M.H.
Guru Besar UNS Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H.,M.H. 

Sunny Ummul Firdaus

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

TRIBUN-SULBAR.COM - Era digital, data pribadi telah menjadi komoditas yang paling bernilai. 

 

Rekam jejak digital setiap warga—mulai dari identitas, kebiasaan konsumsi, lokasi, hingga preferensi politik—terkumpul dan dikelola dalam sistem elektronik yang sebagian besar terhubung dengan entitas global. 

 

Dalam konteks ini, perlindungan data pribadi tidak lagi cukup dipandang sebagai persoalan privasi individu semata, melainkan telah menjelma menjadi persoalan kedaulatan negara.

 

Kebocoran data sering kita dengan dan konon kerap terjadi, mulai dari sektor e-commerce, fintech, hingga instansi pemerintah, menunjukkan lemahnya sistem perlindungan data di Indonesia. 

 

Menurut laporan Surfshark, Indonesia menempati peringkat ke-13 secara global dalam hal jumlah kebocoran data, dengan total 156,8 juta data yang bocor sejak 2004 hingga 15 April 2024.

 

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 103 dugaan insiden kebocoran data di Indonesia, dengan mayoritas (69 persen) terjadi di sektor administrasi pemerintahan.

 

Namun lebih dari sekadar ancaman terhadap privasi warga, kebocoran ini mencerminkan lemahnya kontrol negara terhadap sistem informasi nasional yang strategis. 

 

Menurut teori hukum tata negara modern, kedaulatan tidak hanya berbicara pada aspek teritorial dan pemerintahan, tetapi juga mencakup kedaulatan digital, yakni bagaimana kapasitas negara untuk mengontrol, melindungi, dan mengatur data warganya yang beredar di ruang siber.

 

Kegagalan negara melindungi data pribadi warga dapat dikategorikan bentuk pelanggaran konstitusional. 

 

Dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman terhadap hak milik dan kehidupan pribadi. 

 

Dalam konteks digital, hak tersebut harus ditafsirkan sebagai perlindungan atas data pribadi sebagai bagian dari eksistensi dan identitas warga negara.

 

Dalam paradigma hukum tata negara, prinsip “negara hukum yang demokratis” (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) mengamanatkan adanya perlindungan aktif oleh negara terhadap hak-hak warga negara, termasuk dalam ruang digital. 

 

Ini sejalan dengan konsep positive obligation of the state dalam hukum HAM, yakni negara tidak cukup hanya tidak melanggar, tetapi harus mengambil langkah konkret untuk melindungi. 

 

Jadi dalam hal ini negara tidak boleh bersikap netral terhadap lalu lintas data pribadi warganya.

 

Peran negara dalam perlindungan data pribadi dapat pula di tafsirkan dalam konteks bagaimana tanggung jawab konstitusional terhadap keamanan nasional. 

 

Penguasaan data pribadi warga oleh pihak asing, terutama korporasi global berbasis di luar negeri, berpotensi membuka penyalahgunaan data untuk kepentingan intelijen, manipulasi opini publik, bahkan destabilitas politik. 

 

Isu ini bukan sekadar teknis, tetapi menyentuh jantung dari kedaulatan konstitusional.

 

Dalam perspektif Montesquieu dan Hans Kelsen, kedaulatan negara adalah ekspresi dari supremasi hukum dalam menjalankan fungsi pemerintahan. 

 

Menurut saya dalam konteks ini, kedaulatan digital dapat dimaknai sebagai fungsi regulatif dan protektif negara terhadap ruang siber dan segala entitas yang bergerak di dalamnya. Sama seperti negara memiliki polisi dan militer untuk menjaga kedaulatan fisik, sehingga negara juga wajib memiliki sistem keamanan data nasional yang tangguh dan berdiri di atas arsitektur hukum yang demokratis. 

 

Untuk itu negara juga perlu menetapkan bahwa data warga negara adalah aset strategis nasional, sejajar dengan sumber daya alam. 

 

Artinya, akses terhadap data harus tunduk pada pengaturan hukum nasional dan tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada pihak asing, meskipun atas nama efisiensi teknologi. 

 

Jika tidak, negara berpotensi kehilangan kontrol atas elemen kunci dari kedaulatannya sendiri.

 

Tanggung Jawab Lembaga Negara

 

Menurut hemat saya perlindungan data pribadi bukan semata urusan sektoral, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif lembaga-lembaga negara yang masing-masing memegang fungsi konstitusionalnya. 

 

Presiden dan jajaran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bertanggung jawab merumuskan dan melaksanakan kebijakan nasional di bidang perlindungan data dan keamanan digital. 

 

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang peran yang sangat vital dalam fungsi legislasi dan pengawasan. DPR tidak hanya bertanggung jawab dalam membentuk undang-undang seperti UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tetapi juga wajib memastikan pelaksanaannya berjalan secara efektif. 

 

Mahkamah Konstitusi (MK) juga memiliki peran sebagai benteng terakhir perlindungan hak konstitusional warga, termasuk dalam aspek hak atas privasi dan rasa aman. 

 

MK diharapkan mampu menafsirkan hak-hak konstitusional dalam konteks baru yang mencakup dimensi kedaulatan digital dan keamanan informasi pribadi.

 

Keseluruhan tanggung jawab lembaga negara ini harus berjalan dalam satu orkestrasi kebijakan yang berharmoni selaras. 

 

Tanpa koordinasi dan kemauan politik yang kuat, perlindungan data pribadi hanya akan menjadi slogan tanpa makna, dan negara berpotensi memiliki risiko kehilangan kedaulatannya di ruang digital. 

 

Dalam perspektif hukum tata negara, pengabaian terhadap perlindungan data pribadi sama artinya dengan kegagalan negara menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia di dunia nyata maupun maya.

 

Menuju Sovereign Digital State

 

Menurut saya Gagasan tentang Sovereign Digital State atau negara yang berdaulat secara digital harus menjadi prioritas dan menjadi suatu keniscayaan di tengah derasnya arus globalisasi data dan dominasi platform teknologi transnasional. 

 

Dalam kerangka hukum tata negara, kedaulatan negara tidak lagi cukup dipahami sebagai kekuasaan atas batas-batas fisik, tetapi juga mencakup otoritas penuh negara atas ruang digital yang menjadi bagian integral dari kehidupan warganya. Negara dituntut hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung utama data warga, demi menjamin kepastian hukum, keamanan nasional, dan martabat konstitusional.

 

Dari sisi internasional, Indonesia juga perlu aktif membangun diplomasi digital yang berbasis prinsip resiprositas (reciprocity) dan kesetaraan kedaulatan. 

 

Dalam berbagai forum global seperti ASEAN Digital Masterplan, G20 Digital Economy Working Group, dan UN Internet Governance Forum (IGF), Indonesia harus memperjuangkan tata kelola data lintas batas yang adil dan menghormati yurisdiksi nasional. 

 

Sebab dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kekuasaan tidak lagi hanya dipertarungkan lewat senjata atau ekonomi, melainkan juga lewat siapa yang mengontrol aliran data dan algoritma.

 

Menuju Sovereign Digital State bukanlah pilihan idealistis semata, melainkan kebutuhan historis dalam menjaga keberlangsungan kedaulatan bangsa di zaman yang terus berubah. Sebab data adalah kekuasaan, dan kekuasaan tanpa kontrol negara adalah ancaman konstitusional.

 

Perlindungan data pribadi bukan sekadar pemenuhan hak individu, melainkan manifestasi nyata dari kewajiban konstitusional negara untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. 

 

Ketika data warga negara tidak dilindungi dengan layak, maka negara telah gagal menjalankan amanat dasarnya. 

 

Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, kedaulatan bukan lagi soal batas wilayah, melainkan soal siapa yang menguasai data. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ziarah Intelektual

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved