Literasi

Literasi Membaca, Filsafat, dan Masa Depan Sulbar

Peradaban sejatinya bertumbuh bukan semata dari pembangunan fisik, melainkan dari ketekunan bangsa ini dalam membaca dan belajar.

Editor: Nurhadi Hasbi
Nur Salim Ismail
Cendikiawan Muslim Sulawesi Barat Nur Salim Ismail 

Ia bisa dimulai dari buku-buku ringan tentang logika, etika, sejarah pemikiran, yang membiasakan generasi muda pada pertanyaan mendasar: mengapa manusia berpikir? Apa makna hidup? Apa yang benar dan salah? Pelan tapi pasti, kebiasaan berpikir dalam akan menuntun mereka menyukai bacaan yang lebih berat.

Pertanyaannya, mengapa FiIsafat harus diletakkan sebagai penggerak awal bagi lahirnya etos membaca? jawabnya, ada kekhawatiran yang harus kita sadari bersama. 

Di era digital yang serba cepat ini, kemampuan membaca mendalam dan berpikir kritis kian terancam.

Anak-anak muda lebih akrab dengan layar ponsel daripada halaman buku. Lebih fasih menyerap slogan motivasi daripada merenungkan gagasan yang memerlukan kedalaman akal. Mencaplok pesan-pesan melankolis tak lagi dikuliti dalam kacamata kritis.

Jika ini dibiarkan, kita tidak sedang membentuk generasi cerdas, melainkan generasi cepat lelah berpikir, mudah percaya, dan gampang diombang-ambing opini.

Membangun literasi membaca yang sehat bukan sekadar soal kuantitas bacaan. Yang lebih penting ialah keberanian menentukan kualitas bacaan.

Filsafat memberi arah itu. Ia membentuk watak, menajamkan logika, dan menyiapkan generasi yang tidak sekadar tahu banyak, tetapi mampu berpikir jernih, mengambil keputusan bijak, dan menjaga akal sehat di tengah derasnya informasi.

Perlu ditegaskan, bahwa gagasan ini sama sekali bukan hendak menenggelamkan perspektif keilmuan lainnya. Setiap cabang ilmu memiliki peran strategis dalam membangun peradaban.

Namun filsafat, sebagai pokok segala ilmu pengetahuan, menawarkan pondasi awal yang kokoh: keteraturan berpikir, kejernihan logika, dan keberanian bertanya secara mendasar.

Dari filsafat inilah akan lahir etos membaca yang lebih teratur, terarah, dan rapi, yang pada gilirannya akan membuka pintu ke berbagai perspektif ilmu lainnya secara lebih matang.

Dengan demikian, filsafat bukan menutup jalan ke disiplin lain, melainkan menyiapkan generasi agar mampu menapaki jalan itu dengan akal sehat dan nalar yang terasah.

Kini tinggal pertanyaannya: sudah siapkah gerakan literasi Sulawesi Barat menjemput bacaan filsafat, untuk kemudian menghadirkannya secara lebih massif dan terjangkau bagi semua kalangan?

Jika jawabannya siap, maka inilah saatnya membangun generasi pembaca yang tak hanya gemar membaca, tetapi juga mampu berpikir mendalam, melahirkan gagasan-gagasan baru yang bersambung dengan cakrawala keilmuan yang lebih luas.

Karena sesungguhnya, tentang apa yang dibaca dan dari cara kita membaca hari ini, kita sedang menyiapkan cara kita berpikir di masa depan. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Dari Jibril ke Gubernur

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved