Literasi

Literasi Membaca, Filsafat, dan Masa Depan Sulbar

Peradaban sejatinya bertumbuh bukan semata dari pembangunan fisik, melainkan dari ketekunan bangsa ini dalam membaca dan belajar.

Editor: Nurhadi Hasbi
Nur Salim Ismail
Cendikiawan Muslim Sulawesi Barat Nur Salim Ismail 

Oleh: Nur Salim Ismail

Surat Edaran Gubernur Sulawesi Barat tentang pentingnya pengembangan budaya membaca sesungguhnya bukan sekadar dokumen administratif.

Ia mengingatkan kita kembali pada satu kesadaran fundamental yang sering kali luput di tengah riuh zaman; bahwa membaca bukan hanya kegiatan tambahan, melainkan pondasi utama bagi lahirnya kecerdasan bangsa. 

Bagi para pegiat literasi, surat edaran ini ibarat seteguk air di tengah kehausan panjang. Ia mengabarkan masih ada pemegang kebijakan yang memahami.

Peradaban sejatinya bertumbuh bukan semata dari pembangunan fisik, melainkan dari ketekunan bangsa ini dalam membaca dan belajar.

Namun sebagaimana lazimnya kebijakan, semangat yang tertuang di atas kertas itu harus dihidupkan lewat gerakan konkret, terukur, dan terarah. Tanpa hal itu, surat edaran hanya akan menjadi arsip perkantoran, bukan tonggak peradaban.

Membaca Bukan Sekadar Membaca

Dalam perbincangan kita sehari-hari tentang literasi, sering kali terjadi penyempitan makna.

Membaca dipersempit menjadi sekadar hobi yang menyenangkan atau kegiatan rekreatif pengisi waktu luang.

Lebih jauh lagi, masyarakat kita kerap memaknai bacaan sebatas novel populer, cerita ringan, atau buku-buku motivasi yang menjanjikan sukses instan.

Padahal, sejak awal sejarah peradaban manusia, literasi bukanlah sekadar urusan hiburan. Ia adalah alat untuk memahat jalan berpikir, membentuk akal sehat, dan menanamkan cara pandang kritis dan mendalam.

Membangun budaya membaca tak cukup hanya dengan menggaungkan pentingnya membaca.

Lebih penting lagi ialah menyusun agenda bacaan bertahap, sistematis, dan berorientasi pada pembentukan cara berpikir sehat.

Dalam konteks inilah saya mengajukan satu gagasan yang mungkin terkesan usang bagi sebagian orang, tetapi justru paling relevan bagi masa depan: filsafat sebagai bacaan wajib bagi generasi muda Sulbar.

Di tengah arus informasi yang deras dan dangkal, filsafat justru menjadi pelabuhan menenangkan.

Sebagai akar dari segala ilmu pengetahuan, filsafat mengajarkan ketekunan berpikir, ketelitian bertanya, kesabaran menganalisis, dan kehati-hatian menyimpulkan.

Dari sanalah lahir kecakapan akal yang mampu memilah informasi, menguji pendapat, serta membangun argumen jernih dan sehat.

Di negeri kita, bacaan filsafat kerap dianggap berat, asing, bahkan membingungkan. Namun justru karena ia menuntut ketekunan berpikir, filsafat harus diperkenalkan lebih awal.

Tujuannya bukan melahirkan filsuf semata, melainkan membangun generasi yang akrab dengan kebiasaan bernalar, berani bertanya, dan cakap dalam menyikapi informasi yang kian semrawut. Tegasnya, filsafat menjadi pelecut hadirnya kecakapan mencerna berjuta makna.  

Bangsa-bangsa besar lahir dari tradisi membaca yang kuat, dan hampir selalu di jantung tradisi itu, filsafat berdiri tegak mengusung peradaban.

Jepang, Jerman, Prancis, adalah contoh bangsa yang meletakkan cara berpikir filosofis sebagai pilar pendidikan. Mereka sadar, peradaban tak akan kokoh tanpa akal sehat dan terasah.

Maka menjadi tugas kita hari ini: menyusun ulang orientasi literasi agar tak terjebak pada bacaan ringan belaka. Tetapi menyiapkan generasi yang tahan banting dalam berpikir.

Dari Edaran Menuju Gerakan

Kembali ke Sulawesi Barat, surat edaran Gubernur ini adalah titik mula yang baik. Namun harapan tidak akan menjadi kenyataan tanpa gerakan yang nyata.

Gerakan Literasi harus diarahkan, bukan dibiarkan mengalir menjadi penghapal puluhan judul buku, atau sebatas penutur kata-kata mutiara, namun ujungnya tetap nir-makna.

Tanpa arah yang jelas, kita hanya akan berpindah dari satu bacaan ke bacaan lain, tanpa pernah benar-benar menapaki pemikiran yang kokoh.

Perpustakaan daerah, taman baca, komunitas literasi, sekolah, hingga pesantren perlu duduk satu meja.

Kita memerlukan ekosistem baca yang menyusun jenjang: dari bacaan populer menuju bacaan pemikiran yang lebih serius.

Filsafat, dalam skema ini, bukan menutup jalan bagi cabang ilmu lain, melainkan membuka pintu lebar agar generasi muda sampai ke sana dengan bekal akal sehat yang lebih matang.

Tentu saja, filsafat yang diperkenalkan tak harus langsung melompat pada karya-karya berat.

Ia bisa dimulai dari buku-buku ringan tentang logika, etika, sejarah pemikiran, yang membiasakan generasi muda pada pertanyaan mendasar: mengapa manusia berpikir? Apa makna hidup? Apa yang benar dan salah? Pelan tapi pasti, kebiasaan berpikir dalam akan menuntun mereka menyukai bacaan yang lebih berat.

Pertanyaannya, mengapa FiIsafat harus diletakkan sebagai penggerak awal bagi lahirnya etos membaca? jawabnya, ada kekhawatiran yang harus kita sadari bersama. 

Di era digital yang serba cepat ini, kemampuan membaca mendalam dan berpikir kritis kian terancam.

Anak-anak muda lebih akrab dengan layar ponsel daripada halaman buku. Lebih fasih menyerap slogan motivasi daripada merenungkan gagasan yang memerlukan kedalaman akal. Mencaplok pesan-pesan melankolis tak lagi dikuliti dalam kacamata kritis.

Jika ini dibiarkan, kita tidak sedang membentuk generasi cerdas, melainkan generasi cepat lelah berpikir, mudah percaya, dan gampang diombang-ambing opini.

Membangun literasi membaca yang sehat bukan sekadar soal kuantitas bacaan. Yang lebih penting ialah keberanian menentukan kualitas bacaan.

Filsafat memberi arah itu. Ia membentuk watak, menajamkan logika, dan menyiapkan generasi yang tidak sekadar tahu banyak, tetapi mampu berpikir jernih, mengambil keputusan bijak, dan menjaga akal sehat di tengah derasnya informasi.

Perlu ditegaskan, bahwa gagasan ini sama sekali bukan hendak menenggelamkan perspektif keilmuan lainnya. Setiap cabang ilmu memiliki peran strategis dalam membangun peradaban.

Namun filsafat, sebagai pokok segala ilmu pengetahuan, menawarkan pondasi awal yang kokoh: keteraturan berpikir, kejernihan logika, dan keberanian bertanya secara mendasar.

Dari filsafat inilah akan lahir etos membaca yang lebih teratur, terarah, dan rapi, yang pada gilirannya akan membuka pintu ke berbagai perspektif ilmu lainnya secara lebih matang.

Dengan demikian, filsafat bukan menutup jalan ke disiplin lain, melainkan menyiapkan generasi agar mampu menapaki jalan itu dengan akal sehat dan nalar yang terasah.

Kini tinggal pertanyaannya: sudah siapkah gerakan literasi Sulawesi Barat menjemput bacaan filsafat, untuk kemudian menghadirkannya secara lebih massif dan terjangkau bagi semua kalangan?

Jika jawabannya siap, maka inilah saatnya membangun generasi pembaca yang tak hanya gemar membaca, tetapi juga mampu berpikir mendalam, melahirkan gagasan-gagasan baru yang bersambung dengan cakrawala keilmuan yang lebih luas.

Karena sesungguhnya, tentang apa yang dibaca dan dari cara kita membaca hari ini, kita sedang menyiapkan cara kita berpikir di masa depan. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Dari Jibril ke Gubernur

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved