Literasi

Literasi Membaca, Filsafat, dan Masa Depan Sulbar

Peradaban sejatinya bertumbuh bukan semata dari pembangunan fisik, melainkan dari ketekunan bangsa ini dalam membaca dan belajar.

Editor: Nurhadi Hasbi
Nur Salim Ismail
Cendikiawan Muslim Sulawesi Barat Nur Salim Ismail 

Sebagai akar dari segala ilmu pengetahuan, filsafat mengajarkan ketekunan berpikir, ketelitian bertanya, kesabaran menganalisis, dan kehati-hatian menyimpulkan.

Dari sanalah lahir kecakapan akal yang mampu memilah informasi, menguji pendapat, serta membangun argumen jernih dan sehat.

Di negeri kita, bacaan filsafat kerap dianggap berat, asing, bahkan membingungkan. Namun justru karena ia menuntut ketekunan berpikir, filsafat harus diperkenalkan lebih awal.

Tujuannya bukan melahirkan filsuf semata, melainkan membangun generasi yang akrab dengan kebiasaan bernalar, berani bertanya, dan cakap dalam menyikapi informasi yang kian semrawut. Tegasnya, filsafat menjadi pelecut hadirnya kecakapan mencerna berjuta makna.  

Bangsa-bangsa besar lahir dari tradisi membaca yang kuat, dan hampir selalu di jantung tradisi itu, filsafat berdiri tegak mengusung peradaban.

Jepang, Jerman, Prancis, adalah contoh bangsa yang meletakkan cara berpikir filosofis sebagai pilar pendidikan. Mereka sadar, peradaban tak akan kokoh tanpa akal sehat dan terasah.

Maka menjadi tugas kita hari ini: menyusun ulang orientasi literasi agar tak terjebak pada bacaan ringan belaka. Tetapi menyiapkan generasi yang tahan banting dalam berpikir.

Dari Edaran Menuju Gerakan

Kembali ke Sulawesi Barat, surat edaran Gubernur ini adalah titik mula yang baik. Namun harapan tidak akan menjadi kenyataan tanpa gerakan yang nyata.

Gerakan Literasi harus diarahkan, bukan dibiarkan mengalir menjadi penghapal puluhan judul buku, atau sebatas penutur kata-kata mutiara, namun ujungnya tetap nir-makna.

Tanpa arah yang jelas, kita hanya akan berpindah dari satu bacaan ke bacaan lain, tanpa pernah benar-benar menapaki pemikiran yang kokoh.

Perpustakaan daerah, taman baca, komunitas literasi, sekolah, hingga pesantren perlu duduk satu meja.

Kita memerlukan ekosistem baca yang menyusun jenjang: dari bacaan populer menuju bacaan pemikiran yang lebih serius.

Filsafat, dalam skema ini, bukan menutup jalan bagi cabang ilmu lain, melainkan membuka pintu lebar agar generasi muda sampai ke sana dengan bekal akal sehat yang lebih matang.

Tentu saja, filsafat yang diperkenalkan tak harus langsung melompat pada karya-karya berat.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Dari Jibril ke Gubernur

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved