Perjalanan Dinas Fiktif

Kasus Dugaan Perjadin Fiktif DPRD Sulbar, Ketika Maling Anggaran Dimaafkan Keadilan Dipermainkan

Publik, kata dia tentu akan bertanya-tanya, sejak kapan pengembalian hasil korupsi dianggap cukup untuk membatalkan pelanggaran hukum.

Editor: Ilham Mulyawan
Asnawi For Tribun Sulbar
Direktur WALHI SUlbar - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Barat, Asnawi mempertanyakan pernyataan Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka (SDK), yang menyebut bahwa perusahaan tambang berizin tidak boleh dihalang-halangi. 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAJENE - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulbar, Asnawi menyayangkan kasus dugaan perjalanan dinas fiktif senilai Rp1,75 miliar di lingkungan DPRD Sulawesi Barat, yang sebagian besar dananya telah "dikembalikan" ke kas daerah.

Asnawi mengatakan sungguh ironi besar dalam wajah penegakan hukum dan moralitas publik. 

"Pengembalian Rp1,55 miliar dari total temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru memperlihatkan celah akut dalam sistem hukum kita, bahwa kejahatan anggaran rupanya bisa dihapus begitu saja asal ada itikad mengembalikan. Lalu ke mana nasib akuntabilitas dan konsekuensi hukum? tanya Asnawi.

Publik, kata dia tentu akan bertanya-tanya, sejak kapan pengembalian hasil korupsi dianggap cukup untuk membatalkan pelanggaran hukum.

"Apakah pencuri ayam, pencopet di pasar, atau maling sandal juga bisa mendapatkan perlakuan yang sama asal barang curian dikembalikan," tambahnya.

Baca juga: Kasus Perjalanan Dinas Fiktif, Sudah Dikembalikan Rp1,55 Miliar Sisa Utang DPRD Sulbar Rp200 Juta

Baca juga: Temuan BPK di LKPD Sulbar 2024: Perjalanan Dinas Fiktif hingga Proyek Bermasalah

Realitas di masyarakat menunjukkan hal sebaliknya sebut Asnawi

Rakyat kecil, dengan kesalahan yang jauh lebih ringan dan kerugian negara yang tak seberapa, kerap dihukum tanpa ampun. 

Tak sedikit dari mereka yang mengalami kekerasan fisik, persekusi sosial, hingga hukuman penjara. 

Sementara mereka yang duduk di lembaga legislatif, justru seolah mendapat pengampunan hukum dengan alasan telah “bertanggung jawab” mengembalikan dana yang disalahgunakan.

"Inilah bentuk ketidakadilan struktural yang terus dipertontonkan negara. Dan yang paling menyakitkan, terus berulang," sesalnya.

WALHI Sulawesi Barat menilai bahwa persoalan ini bukan hanya tentang kerugian keuangan negara, tetapi menyangkut bobroknya moralitas pejabat publik serta lemahnya komitmen aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi di daerah. 

Kata Asnawi, di tengah ancaman krisis multidimensi lingkungan, pangan, energi yang semuanya membutuhkan anggaran dan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat, bagaimana bisa kita menoleransi permainan anggaran oleh para wakil rakyat sendiri.

Sikap permisif terhadap pelanggaran anggaran, meski dengan alasan pengembalian, menciptakan preseden buruk. Ia mengundang praktik serupa di masa depan dan melemahkan efek jera yang seharusnya dibangun oleh sistem hukum. 

Lebih dari itu, praktik ini juga mencederai rasa keadilan publik dan menciptakan jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan negara.

"Oleh karena itu, kami mendesak agar proses hukum tetap dijalankan secara menyeluruh dan transparan terhadap semua pihak yang terlibat. Pengembalian dana harus menjadi bukti tambahan, bukan dalih pengampunan. Penegak hukum harus menunjukkan keberanian moral untuk tidak tunduk pada kekuasaan politik lokal, demi menyelamatkan integritas institusi negara," terang Asnawi lagi.

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved