Opini

Tradisi Pappake'de Boyang di Tanah Mandar

Pada rumah Boyang Adaq, Tumbaq Lajar tersebut bersusun-susun (3 hingga 7 susun) untuk memberikan penanda akan tingkat kebangsawanan pemilik rumah.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok Badaruddin Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Majene
Badaruddin Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Majene 

Penulis: Badaruddin Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Majene

Dewasa ini, adat dan budaya menjadi sebuah hal yang sangat penting untuk tetap dipertahankan. Sebab nilai adat menjadi identitas sebuah etnis, suku, dan kelompok tertentu.

Salah satunya adalah suku Mandar yang berada di Sulawesi Barat. Seperti suku lain di Indonesia, Mandar identik dengan berbagai nilai budaya yang kental dan memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Islam, sebab banyak tradisi dan budaya di tanah Mandar yang mendapat penyesuaian dengan nilai Islami.

Pada konteks ini, suku Mandar memiliki kepercayaan adat bahwa rumah atau boyang merupakan unsur adat yang memuat berbagai macam hal yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat.

Seperti gotong royong, tanggung jawab, sikap simpati terhadap sesama serta nilai sosial lainnya.

Rumah atau boyang adalah bagian sakral yang sangat penting bagi masyarakat Mandar.

Secara fisik rumah adat mandar berbentuk rumah panggung dengan tiang-tiang penyangga yang cukup tinggi umumnya 2-4 meter, jenis kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu Sappu’, kayu Jati, dan kayu Pohon Kelapa.

Adapun kayu tersebut dipilih karena karakteristik yang kuat dan tahan lama. Rumah ini terbagi menjadi dua yaitu Boyang Adaq yang dihuni oleh kaum bangsawan dan Boyang Beasa yang dihuni oleh masyarakat biasa.

Perbedaan yang dapat dilihat pada ornamen yang digunakan salah satunya adalah Tumbaq Lajar (penutup bubungan) yang terlihat pada bagian depan atap rumah.

Pada rumah Boyang Adaq, Tumbaq Lajar tersebut bersusun-susun (3 hingga 7 susun) untuk memberikan penanda akan tingkat kebangsawanan pemilik rumah.

Makin banyak susunannya maka makin tinggi pula tingkat status sosial penguni rumah tersebut. Selain itu, tiang penyanggah tidak dibenarkan untuk langsung menyentuh tanah, tetapi disanggah dengan batu atau pondasi awal untuk menghindari kelapukan.

Boyang memiliki filosofi utama yaitu dari struktur bangunan rumah itu sendiri.

Filosofi da’dua tassisara, tallu tammallaesang ( dua tak terpisahkan, tiga saling membutuhkan) digambarkan dengan tiga susun dan tiga petak.

Dua yang tak terpisahkan adalah hukum dan demokrasi, adapun tiga saling membutuhkan adalah ekonomi, keadilan dan persatuan.

Filosifi ini menunjukkan bahwa masyarakat suku Mandar sangat menjunjung hukum dan demokrasi, serta menyadari keterikatan antara ekonomi keadilan dan persatuan yang menjadi landasan dalam berkehidupan.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved