OPINI
Permendikbud PPKSP Bukan solusi Kekerasan di Satuan Pendidikan, Mengapa?
Pelaksanaan Permendikbud PPKSP juga menekankan bahwa satuan pendidikan juga diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK
Oleh:
Fitriana
Mahasiswi STAIN Majene
TRIBUN-SULBAR.COM - Permendikbud PPKSP bukan solusi Kekerasan di satuan pendidikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim meluncurkan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) di Jakarta yang disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Kemdikbud RI, Selasa (8/8/2023).
Tujuan Permendikbud PPKSP adalah untuk meningkatkan langkah pencegahan dan penanganan kekerasan di lembaga pendidikan dengan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk siswa, guru, staf, dan masyarakat sekolah.
Pelaksanaan Permendikbud PPKSP juga menekankan bahwa satuan pendidikan juga diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), sementara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus membentuk Satuan Tugas (Satgas).
Pelaksanaan TPPK dan Satgas harus dilaksanakan dalam waktu 6 hingga 12 bulan setelah peraturan diundangkan, bertujuan untuk memastikan pelaksanaan penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga pendidikan.
Jika ada laporan kekerasan, kedua tim ini diharapkan melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menangani masalah tersebut dan memastikan pemulihan korban.
Permendikbud PPKSP dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan masalah kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Berbagai insiden kekerasan, baik fisik maupun non-fisik, telah terjadi di satuan pendidikan dan menjadi perhatian serius pemerintah serta masyarakat. Kekerasan ini dapat berdampak negatif pada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat sekolah secara keseluruhan.
Mekanisme pencegahan dalam Permendikbud PPKSP adalah:
1. Penguatan tata kelola
2. Edukasi
3. Penyediaan sarana dan prasarana
Terjadinya kekerasan di sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks, antara lain:
Faktor Individu: Sifat dan kepribadian individu, pengalaman traumatis, gangguan mental, serta kurangnya keterampilan sosial dapat menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Faktor Lingkungan: Lingkungan keluarga yang kurang harmonis, paparan terhadap media yang kekerasan, serta norma budaya yang membenarkan tindakan agresif juga bisa berkontribusi pada terjadinya kekerasan di sekolah.
Faktor Sekolah: Kedisiplinan yang lemah, kurangnya pengawasan, budaya sekolah yang tidak memperhatikan etika dan norma-norma positif, serta hubungan antara siswa dan guru yang kurang baik dapat menjadi faktor penyebab tindak kekerasan.
Faktor Teman Sebaya: Grup tekanan sebaya, intimidasi, atau perundungan (bullying) dapat memicu terjadinya kekerasan di sekolah.
Faktor Sosial-Ekonomi: Ketidaksetaraan sosial-ekonomi, kemiskinan, serta kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas juga dapat berkontribusi pada terjadinya kekerasan.
Faktor Norma dan Nilai: Norma-norma sosial yang meremehkan pentingnya menghormati hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan juga dapat berperan dalam terjadinya kekerasan.
Faktor Teknologi: Penggunaan teknologi dan media sosial dalam cara yang tidak tepat bisa memfasilitasi terjadinya tindak kekerasan dan pelecehan secara online.
Regulasi baru yang dikeluarkan oleh Permendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) kemungkinan besar tidak akan berhasil dalam menyelesaikan masalah yang ada karena permen ini tidak mengacu pada pokok persoalannya. Hal ini dicontohkan dengan mengacu pada pengalaman dari Permendikbud no 30/2021.
Untuk mencapai solusi yang benar-benar efektif dalam menangani persoalan kekerasan, diperlukan pendekatan yang melibatkan negara dalam menyajikan solusi yang menyeluruh dan mendasar. Pendekatan fundamental akan berfokus pada akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut dari akarnya agar dampaknya dapat diminimalkan secara menyeluruh, Ini berarti bahwa upaya penyelesaian harus melebihi penanganan permukaan dan seharusnya mengatasi akar permasalahan yang mendasari terjadinya kekerasan.
Islam memiliki solusi tuntas terhadap terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah
Dalam ajaran Islam, tanggung jawab negara melampaui peran dalam menetapkan peraturan semata, melainkan juga merangkul tugas penting dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, termasuk di dunia pendidikan.
Islam sebagai ajaran yang mencakup segala aspek memiliki kapabilitas yang besar untuk mengatasi permasalahan meningkatnya tindak kekerasan, termasuk di lingkungan sekolah.
Negara menegaskan pendidikan berbasis akidah Islam untuk membangun fondasi kuat dalam berinteraksi sosial bagi semua siswa. Agama menjadi pijakan penting, bukan diabaikan. Pemahaman agama membantu siswa memahami tujuan hidup, beribadah kepada Allah Swt., dan menjadi individu yang berkontribusi positif. Ini kunci mencegah tindak kejahatan. Tidak hanya itu negara akan memastikan penayangan media dengan memutuskan konten-konten yang bersifat pornografi dan kekerasan.
Keluarga juga mendapat jaminan kesejahteraan dari negara. Peluang kerja luas tersedia bagi kepala keluarga. Akibatnya, ibu dapat fokus pada tugas rumah tangga dan menjadi guru pertama serta utama bagi anak-anaknya. Dengan orang tua yang mengedepankan nilai-nilai agama, akan terbentuk generasi unggul yang siap mewujudkan kemajuan peradaban manusia.
Kesimpulan
Dalam rangka mencapai solusi tuntas terhadap kekerasan di lingkungan sekolah, diperlukan pendekatan yang lebih mendalam dan menyeluruh. Termasuk di dalamnya adalah pembentukan fondasi agama yang kuat, peran aktif negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban, serta pembentukan lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung perkembangan positif siswa. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sulbar/foto/bank/originals/Fitriana-Mahasiswi-STAIN-Majene.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.