Kolom
Kerinduan Primordial
Manusia, dengan segala misteri yang dilalui dan dihadapinya, kerapkali memendam ambisi besar untuk meraih segala yang dicita-citakannya.
Fenomena kerinduan primordial ini diekspresikan dalam perwajahan yang beragam.
John Naisbitt maupun Patricia Aburdene memperkenalkan istilah Spirituality Yes, Organized Religion No (Masduki: 2016).
Gagasan ini hendak memperkenalkan sebuah kesadaran spiritual, namun di saat yang sama mereka menolak corak beragama yang diformalkan.
Mereka merindukan hadirnya Tuhan yang menyapa, tanpa harus melewati gerbang agama yang acap kali menegangkan, serta dipandang tak lagi menawarkan kesejukan batin.
Pada sisi lain, kerinduan primordial juga mewujud dalam bentuk pelarian singkat menuju pola kehidupan beragama serta praktis.
Dalam suasana rindu yang mendera dan membabi buta, mereka lupa bahkan abai pada keterlibatan pikiran.
Agama seumpama bius yang melenakan. Agama tak ingin lagi dibincang secara terbuka dan lentur.
Sebab telah mewujud dalam dogma yang tak lagi memerlukan pengujian keabsahan.
Bahkan mempertanyakannya sama dengan menguliti keabsahan agama.
Kedua gambaran di atas, sesungguhnya amat dekat dengan kehidupan kita.
Namun sayangnya, keduanya memiliki dampak yang sama merisaukannya.
Untuk tak terjebak di dalamnya, penting melibatkan pengetahuan sebagai nutrisi pikiran dalam mencerna ajaran agama.
Prinsip keterbukaan adalah pintu masuk mengurai setiap perspektif.
Sebaliknya, sikap tertutup dan anti kritik adalah tanda kebesaran mahkota kejumudan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.