Premi Risiko dan Nilai Tukar Rupiah

Premi risiko suatu negara sangat menentukan daya tarik berinvestasi di negara bersangkutan.

Editor: Nurhadi Hasbi
Tribun Sulbar / Ist
Muhammad Syarkawi Rauf (Dosen FEB Unhas/ Ketua KPPU RI 2015 – 2018) 

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf (Dosen FEB Unhas/ Ketua KPPU RI 2015 – 2018)

Anomali depresiasi nilai tukar rupiah per dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir dapat dijelaskan dengan konsep premi risiko.

Fluktuasi rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan indikator makro, khususnya selisih suku bunga riil Indonesia dengan AS. 

Konsep premi risiko pertama kali diperkenalkan oleh dua ekonom AS, yaitu Harry Max Markowitz dari University of California, San Diego dan William Forsyth Sharpe, professor emeritus dari Standford University, AS, penerima hadiah Nobel Ekonomi tahun 1990. 

Pada awalnya, konsep premi risiko digunakan dalam teori portofolio dan Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang sangat populer pada tahun 1960-an. Konsep premi risiko kemudian digunakan secara luas dalam penentuan nilai tukar. 

Premi risiko didefenisikan sebagai pendapatan tambahan yang diinginkan oleh investor (pemilik modal) karena bersedia mengambil risiko dengan membeli asset keuangan suatu negara yang berisiko tinggi dibandingkan dengan asset yang berisiko rendah. 

Secara umum, premi risiko dipengaruhi oleh selisih suku bunga antara dua negara (interest rate differential).

Dalam jangka panjang, premi risiko juga dipengaruhi oleh selisih antara nilai tukar mata uang suatu negara dalam jangka panjang dengan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang negara lainnya, dalam hal ini dolar AS pada saat sekarang. 

Premi risiko suatu negara sangat menentukan daya tarik berinvestasi di negara bersangkutan.

Premi risiko menentukan besarnya suku bunga di suatu negara. Dimana, premi risiko yang tinggi menyebabkan selisih suku bunga domestik dan internasional menjadi semakin tinggi. 

Secara faktual, mata uang rupiah Indonesia mengalami depresiasi paling tinggi dibandingkan beberapa mata uang negara Asia lainnya terhadap dolar AS pada 22 September 2025. Mata uang rupiah diperdagangkan Rp. 16.625 per dolar AS. 

Hingga 25 September 2025, nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi, yaitu menjadi Rp. 16.754 per dolar AS. 

Berdasarkan data Intercontinental Exchange (ICE), nilai tukar rupiah per dolar AS merupakan posisi terlemah sejak awal Mei 2025.

Kecenderungan depresiasi nilai tukar rupiah per dolar AS sejalan dengan penguatan US dollar index.

Indeks dolar AS dibangun dengan mengacu pada enam mata uang utama dunia, yaitu: Euro dengan bobot 57,6 persen, Yen Jepang 13,6 persen, Pound Sterling Inggris 11,9 persen, Krona Swedia 4,2 persen dan Franc Swiss 3,6 persen. 

Tren penguatan US dollar index sejalan dengan pelemahan rupiah dan sejumlah mata uang Asia lainnya.

US Dollar Index mengalami kenaikan dari titik terendah sebesar 96,452 pada 18 September 2025 hingga titik tertinggi 98,564 pada 25 September 2025. 

Selanjutnya, hingga 2 Oktober 2025 indeks dolar AS menurun menjadi 97,892, yang mencerminkan bahwa mata uang dolar AS kembali melemah terhadap enam mata uang utama dunia.

Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya kembali mengalami penguatan (apresiasi). 

Tren depresiasi rupiah per dolar AS tertinggi dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya, seperti ringgit Malaysia dan  dolar Singapura sejalan dengan country risk premium Indonesia pada tahun 2025 yang lebih buruk dibandingkan Malaysia dan Singapura. 

Country risk premium Indonesia yang diterbitkan oleh New York University (NYU) pada Januari 2025 sebesar 2,54 persen. 

Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia sebesar 1,66 persen dan bahkan Singapura berstatus sebagai risk free country (negara bebas risiko). 

Performa ringgit Malaysia dan dolar Singapura yang lebih baik dibandingkan rupiah Indonesia juga konsisten dengan rating Moody yang menempatlkan Indonesia pada peringkat investment grade bawah, Baa2. 

Rating ini lebih buruk dibandingkan dengan Singapura Aaa dan Malaysia A3 yang berarti berisiko sangat rendah.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa fluktuasi nilai tukar, dalam hal ini depresiasi rupiah per dolar AS tidak tercermin secara sempurna pada selisih suku bunga riil Indonesia dengan AS. 

Atau dengan kata lain, interest rate differential tidak dapat menjelaskan perubahan nilai tukar rupiah per dollar AS.

Dimana, selisih suku bunga domestik dengan luar negeri, dalam hal ini suku bunga The Fed, AS menjadi semakin tinggi. 

Semakin tinggi selisih suku bunga riil Indonesia dengan AS mencerminkan premi risiko mata uang rupiah yang semakin tinggi. 

Kecenderungan yang sama juga terjadi dengan selisih antar nilai tukar rupiah per dolar AS dalam jangka panjang dengan nilai tukar rupiah per dolar AS saat ini. 
Selisih ini disebut juga dengan exchange rate gap. Semakin besar deviasi suku bunga saat ini dengan suku bunga jangka panjang maka premi risiko semakin besar. 

Dimana, risk premium berkaitan dengan risiko depresiasi mata uang, risiko fluktuasi suku bunga yang tercermin pada kenaikan suku bunga dalam dolar di bank-bank milik pemerintah pada saat terjadi tekanan terhadap rupiah per dolar AS, ketidakpastian ekonomi dan politik. 

Singkatnya, keberadaan country specific risk (risiko spesifik terhadap Indonesia) berupa ketidakpastian prospek ekonomi Indonesia meningkatkan premi risiko mata uang rupiah terhadap dolar AS. 

Akibatnya, investor meminta premi risiko lebih tinggi untuk memegang asset keuangan dalam rupiah.

Solusinya, merujuk pada John A. Carlson Krannet dari Purdue University, West Lafayette dan C. L. Osler dari Federal Reserve, New York, tahun 1999 dalam tulisan “determinant of currency risk premium” menunjukkan pentingnya intervensi kebijakan makro dan mikro prudensial untuk mengurangi premi risko. 

Terkait dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS pada 22 September 2025, pemerintah dan bank sentral dituntut untuk mengurangi risiko bersifat spesifik melalui komunikasi kebijakan yang lebih teknokratik rasional dibanding retoris populis sejalan dengan prinsip ekonomi yang mengutamakan kehati-hatian.

Pemerintah dituntut untuk meyakinkan pelaku pasar terkait kebijakan moneter dan fiskal yang pruden serta memberikan outlook positif terhadap perekonomian nasional. 

Menghindari kesan dominasi atau intervensi otoritas fiskal terhadap otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) dalam formulasi kebijakan makro ekonomi nasional. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved