Opini

Makna Merdeka dalam Pengelolaan Pajak

Editor: Abd Rahman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar UNS Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H.,M.H.

Ia harus mengandung legitimasi sosial yang diperoleh melalui partisipasi publik, transparansi kebijakan, dan asas keadilan. Tanpa itu, kebijakan yang sah  ecara hukum sekalipunberisiko menghadapi resistensi, seperti yang terjadi di Pati.

Dalam kasus Pati, perlawanan publik terhadap kebijakan pajak/retribusi menunjukkan bahwa ada masalah di aspek proses. Jika penentuan tarif atau subjek pajak dilakukan tanpa komunikasi efektif dan tanpa konsultasi dengan pihak terdampak, kebijakan akan dipersepsikan sebagai beban yang dipaksakan, bukan kesepakatan dalam kerangka kontrak sosial daerah. Ini bertentangan dengan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mewajibkan adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan.

Dari perspektif tata kelola, kasus di Pati memberi sedikitnya tiga pelajaran berharga. Pertama, pentingnya partisipasi publik yang bermakna. Perumusan kebijakan pajak daerah tidak boleh hanya menjadi proses administratif yang tertutup di balik meja birokrasi.

Ia harus membuka ruang dialog yang nyata dengan para pihak terdampak, seperti pelaku usaha, asosiasi profesi, tokoh masyarakat, dan DPRD. Keterlibatan ini bukan sekadar formalitas memenuhi syarat undang-undang, melainkan proses mendengarkan, menimbang, dan mengakomodasi masukan sehingga kebijakan lahir dari kesepahaman bersama, bukan sekadar paksaan hukum.

Kedua, transparansi alokasi menjadi kunci membangun kepercayaan. Resistensi terhadap pajak kerap muncul bukan hanya karena besarnya tarif, tetapi karena publik meragukan ke mana dana itu akan digunakan. Pemerintah daerah perlu menjelaskan secara terbuka rencana penggunaan pajak, menunjukkan manfaat konkret yang bisa dirasakan masyarakat, dan mempublikasikan laporan realisasi secara berkala.

Dengan demikian, warga dapat melihat hubungan langsung antara pajak yang mereka bayarkan dan perbaikan layanan publik yang mereka terima.Ketiga, kebijakan pajak daerah harus memegang teguh prinsip keadilan fiskal dan proporsionalitas. Setiap penetapan tarif dan objek pajak perlu mempertimbangkan daya  dukung ekonomi daerah dan kemampuan membayar pihak yang menjadi wajib pajak. 

Beban yang terlalu berat atau timpang antar sektor hanya akan memicu penolakan dan menurunkan kepatuhan. Prinsip ini sejalan dengan amanat sila kelima Pancasila, yang menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan akhir kebijakan publik.

Melalui tiga pelajaran ini, jelas bahwa keberhasilan pemungutan pajak daerah bukan hanya ditentukan oleh legalitas peraturan, tetapi juga oleh legitimasi yang dibangun lewat proses yang adil, transparan, dan partisipatif. 

Menjaga Kepercayaan Publik

Ruh Pancasila dan prinsip kedaulatan rakyat harus menjadi panduan setiap kebijakan perpajakan. Itu berarti memegang teguh asas legalitas, keadilan, transparansi, dan partisipasi. Warga negara berhak tahu ke mana pajak mereka dibelanjakan, sementara negara berkewajiban melaporkan setiap rupiah dengan jelas.

Pengelolaan pajak yang berpihak pada rakyat akan memperkuat legitimasi negara,memperkuat persatuan, dan menumbuhkan kepatuhan sukarela. Pajak bukan lagi sekadar pungutan wajib, melainkan gotong royong nasional untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.(*)