Opini

Makna Merdeka dalam Pengelolaan Pajak

Editor: Abd Rahman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar UNS Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H.,M.H.

Oleh Makna Merdeka dalam Pengelolaan Pajak 

Guru Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UNS

 

TRIBUN-SULBAR.COM- Pajak bukan sekadar kewajiban rutin yang membebani kantong warga. Dalam perspektif konstitusi, ia adalah wujud nyata kontrak sosial antara rakyat dan negara. Di balik angka-angka penerimaan dan belanja negara, tersimpan makna filosofis yang mengakar pada Pancasila dan prinsip kedaulatan rakyat.

Pajak sebagai Kontrak Sosial 

Pasal 23A UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Rumusan ini menandakan tiga hal penting: pemungutan pajak harus melalui mekanisme demokratis, hanya untuk kepentingan publik, dan dilaksanakan dengan legitimasi hukum.

Di sinilah kedaulatan rakyat berperan—pajak tidak lahir dari keputusan sepihak pemerintah, tetapi melalui persetujuan wakil rakyat di DPR. Dengan membayar pajak, warga negara menyerahkan sebagian penghasilan kepadanegara untuk dikelola demi kesejahteraan bersama.

Sebaliknya, negara berkewajiban menggunakan dana itu secara transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan  rakyat.Kontrak sosial ini hanya akan kokoh jika kedua belah pihak memegang komitmennya. 

Ruh Pancasila dalam Pemungutan Pajak

Pancasila memberi arah moral bagi kebijakan pajak. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menuntut agar beban pajak dibagi secara proporsional dengan kemampuan membayar. Prinsip ini melandasi penerapan pajak progresif yang lebih besar untuk kelompok berpendapatan tinggi, sekaligus memberikan perlindungan dan insentif bagi kelompok berpenghasilan rendah serta pelaku usaha kecil.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengingatkan bahwa pajak bukan hanya sumber dana, tetapi juga instrumen perekat kebangsaan. Dana yang terkumpul harus digunakan untuk pemerataan pembangunan dari kota besar hingga pelosok, mengurangi kesenjanganantarwilayah, dan memastikan setiap warga merasakan manfaat pembangunan.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menegaskan bahwa pemungutan dan pengelolaan pajak harus menghormati martabat manusia. Artinya, kebijakan pajak tidak boleh diskriminatif atau membebani kelompok yang lemah secara ekonomi. Sementara sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntut agar pengelolaan pajak dilakukan dengan amanah dan integritas moral, mencegah penyalahgunaan, dan memastikan setiap rupiah kembali pada kemaslahatan umum.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, memberi pesan bahwa kebijakan pajak harus lahir dari proses demokratis yang melibatkan wakil rakyat dan partisipasi publik. Dengan demikian, legitimasi pajak tidak hanya datang dari hukum tertulis, tetapi juga dari rasa keadilan yang dirasakan masyarakat.

Prinsip Kunci Pengelolaan Pajak Berbasis Kedaulatan Rakyat

Pengelolaan pajak yang berpijak pada kedaulatan rakyat memerlukan beberapa prinsip kunci yang tak bisa diabaikan. Pertama, asas legalitas, yakni setiap pungutan pajak hanya sah jika diatur dengan undang-undang yang disetujui bersama melalui DPR, sehingga tidak ada ruang bagi pungutan sewenang-wenang.

Kedua, keadilan distribusi, di mana beban pajak dibagi secara adil sesuai kemampuan, sementara manfaatnya merata ke  seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, akuntabilitas publik, yaitu kewajiban negara untuk menyampaikan secara terbuka ke mana pajak digunakan, dengan laporan yang dapat diakses dan diawasi publik.

Keempat, efisiensi penggunaan, memastikan setiap rupiah pajak digunakan tepat sasaran dan bebas dari pemborosan. Kelima, partisipasi masyarakat, yang berarti membuka ruang konsultasi publik dan dengar pendapat sebelum kebijakan pajak baru diberlakukan. Keenam, penguatan integritas, melalui pemberantasan korupsi di sektor perpajakan dan penegakan hukum yang konsisten. 

Terakhir, pemanfaatan teknologi, dengan membangun sistem digital yang transparan dan terintegrasi untuk memudahkan pelaporan serta mengurangi potensi manipulasi. Prinsip-prinsip ini tidak hanya mengamankan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat hubungan saling percaya antara pemerintah dan rakyat.

Pajak yang dikelola dengan prinsip-prinsip tersebut akan benar-benar menjadi sarana gotong royong nasional yang mempersatukan.

Tantangan Kekinian

Globalisasi dan digitalisasi ekonomi membawa tantangan baru. Laporan State of Tax Justice 2024 mencatat bahwa secara global, perusahaan multinasional memindahkan rata- rata US$1,13 triliun per tahun ke surga pajak, menyebabkan kerugian pajak sekitar US$294 miliar.

Indonesia pun menghadapi tax gap akibat rendahnya kepatuhan dan praktik penghindaran pajak, sementara rasio pajak terhadap PDB stagnan di kisaran 11–12 persen. Pemerintah telah merespons dengan reformasi administrasi melalui Core Tax Administration System (CTAS) dan penerapan pajak minimum global 15 persen bagi korporasi besar.

Namun, teknologi hanyalah alat. Kunci keberhasilan tetap terletak pada kepercayaan publik—yang hanya akan tumbuh bila pengelolaan pajak transparan dan hasilnya benar-benar kembali ke rakyat. Selain itu, tantangan juga hadir pada level pajak  daerah. Pertama, ketergantungan fiskal yang tinggi pada transfer pusat membuat banyak daerah belum mandiri dalam mengoptimalkan sumber pendapatannya.

Kedua, basis pajak daerah yang sempit—terutama di wilayah dengan aktivitas ekonomi rendah—membatasi ruang fiskal untuk membiayai pelayanan publik. Ketiga, tumpang tindih regulasi dan perbedaan tarif antar daerah dapat menghambat investasi dan mobilitas barang/jasa, apalagi ketika muncul kebijakan yang dinilai kontraproduktif oleh pelaku usaha.

Kasus di Kabupaten Pati menjadi contoh bagaimana kebijakan pajak daerah dapat memicu polemik dan resistensi publik. Ketika pemerintah daerah memberlakukan kebijakan pajak atau retribusi baru yang tidak dikomunikasikan dengan baik atau dianggap memberatkan sektor tertentu, kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak bisa menurun drastis. Dalam kasus Pati, polemik pajak/retribusi yang menyasar pelaku usaha tertentu memunculkan penolakan luas, memperlihatkan bahwa tanpa partisipasi

masyarakat dan transparansi, pemungutan pajak daerah dapat kehilangan legitimasi sosial, meskipun secara hukum sah. Keempat, kapasitas administrasi dan teknologi di daerah belum merata. Masih banyak daerah yang bergantung pada pencatatan manual, sehingga potensi kebocoran penerimaan dan ketidakakuratan data tinggi.

Kelima, tantangan pengawasan dan transparansi, di mana sebagian daerah belum menyediakan laporan realisasi pajak daerah secara terbuka dan mudah diakses publik. Terakhir, penarikan pajak berbasis digital—misalnya dari e-commerce lokal atau transportasi daring—masih memerlukan
regulasi dan infrastruktur yang kuat agar potensi penerimaan daerah tidak hilang ke wilayah lain atau ke pusat tanpa mekanisme bagi hasil yang adil.

Analisis Hukum dan Tata Kelola Pajak Daerah

Kasus di Kabupaten Pati menggambarkan dilema klasik dalam pemungutan pajak daerah: antara kewenangan yang sah secara hukum dan legitimasi sosial di mata rakyat. Secara normatif, Pasal 285 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UUHKPD) memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi sesuai dengan jenis yang telah ditetapkan.

Artinya, selama kebijakan pajak daerah mengikuti ketentuan UU HKPD dan Peraturan Daerah (Perda), secara hukum kebijakan tersebut sah dan mengikat. Namun, Pasal 23A UUD NRI 1945 dan prinsip good governance mengajarkan bahwa pemungutan pajak tidak cukup hanya berlandaskan legalitas formal.

Ia harus mengandung legitimasi sosial yang diperoleh melalui partisipasi publik, transparansi kebijakan, dan asas keadilan. Tanpa itu, kebijakan yang sah  ecara hukum sekalipunberisiko menghadapi resistensi, seperti yang terjadi di Pati.

Dalam kasus Pati, perlawanan publik terhadap kebijakan pajak/retribusi menunjukkan bahwa ada masalah di aspek proses. Jika penentuan tarif atau subjek pajak dilakukan tanpa komunikasi efektif dan tanpa konsultasi dengan pihak terdampak, kebijakan akan dipersepsikan sebagai beban yang dipaksakan, bukan kesepakatan dalam kerangka kontrak sosial daerah. Ini bertentangan dengan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mewajibkan adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan.

Dari perspektif tata kelola, kasus di Pati memberi sedikitnya tiga pelajaran berharga. Pertama, pentingnya partisipasi publik yang bermakna. Perumusan kebijakan pajak daerah tidak boleh hanya menjadi proses administratif yang tertutup di balik meja birokrasi.

Ia harus membuka ruang dialog yang nyata dengan para pihak terdampak, seperti pelaku usaha, asosiasi profesi, tokoh masyarakat, dan DPRD. Keterlibatan ini bukan sekadar formalitas memenuhi syarat undang-undang, melainkan proses mendengarkan, menimbang, dan mengakomodasi masukan sehingga kebijakan lahir dari kesepahaman bersama, bukan sekadar paksaan hukum.

Kedua, transparansi alokasi menjadi kunci membangun kepercayaan. Resistensi terhadap pajak kerap muncul bukan hanya karena besarnya tarif, tetapi karena publik meragukan ke mana dana itu akan digunakan. Pemerintah daerah perlu menjelaskan secara terbuka rencana penggunaan pajak, menunjukkan manfaat konkret yang bisa dirasakan masyarakat, dan mempublikasikan laporan realisasi secara berkala.

Dengan demikian, warga dapat melihat hubungan langsung antara pajak yang mereka bayarkan dan perbaikan layanan publik yang mereka terima.Ketiga, kebijakan pajak daerah harus memegang teguh prinsip keadilan fiskal dan proporsionalitas. Setiap penetapan tarif dan objek pajak perlu mempertimbangkan daya  dukung ekonomi daerah dan kemampuan membayar pihak yang menjadi wajib pajak. 

Beban yang terlalu berat atau timpang antar sektor hanya akan memicu penolakan dan menurunkan kepatuhan. Prinsip ini sejalan dengan amanat sila kelima Pancasila, yang menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan akhir kebijakan publik.

Melalui tiga pelajaran ini, jelas bahwa keberhasilan pemungutan pajak daerah bukan hanya ditentukan oleh legalitas peraturan, tetapi juga oleh legitimasi yang dibangun lewat proses yang adil, transparan, dan partisipatif. 

Menjaga Kepercayaan Publik

Ruh Pancasila dan prinsip kedaulatan rakyat harus menjadi panduan setiap kebijakan perpajakan. Itu berarti memegang teguh asas legalitas, keadilan, transparansi, dan partisipasi. Warga negara berhak tahu ke mana pajak mereka dibelanjakan, sementara negara berkewajiban melaporkan setiap rupiah dengan jelas.

Pengelolaan pajak yang berpihak pada rakyat akan memperkuat legitimasi negara,memperkuat persatuan, dan menumbuhkan kepatuhan sukarela. Pajak bukan lagi sekadar pungutan wajib, melainkan gotong royong nasional untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.(*)