Opini

Efisiensi ala Prabowo

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah cermin paling nyata.

Editor: Nurhadi Hasbi
Muhammad Aras Prabowo
INTELEKTRUAL MUDA NU - Intelektual muda NU Muhammad Aras Prabowo menilai kebijakan terbaru Bulog wajib membeli Gabah Kering Panen (GKP) petani dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa syarat kualitas adalah langkap positif. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani 

Bagi masyarakat, ini adalah luka yang menganga: bagaimana bisa efisiensi diterjemahkan sebagai tambahan fasilitas bagi lembaga yang sedang diguncang kasus korupsi? Bukankah efisiensi seharusnya dipakai untuk memperbaiki layanan publik, bukan memperkokoh kenyamanan elit?

Tak berhenti di situ. Banyak wakil menteri kini merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.

Pemerintah beralasan, hal itu bagian dari strategi efisiensi menghapus tantiem, mengganti dengan pengawasan struktural.

Tetapi publik memandangnya lain. Rangkap jabatan jelas menimbulkan konflik kepentingan.

Bagaimana bisa seorang pejabat yang harus mengawasi jalannya pemerintahan sekaligus duduk di kursi pengelola BUMN? Efisiensi semacam ini hanyalah kamuflase untuk mengukuhkan patronase politik.

Sementara para elit menikmati gaji, tunjangan, dan jabatan yang terus bertambah, di akar rumput nasib guru honorer justru memprihatinkan.

Banyak dari mereka belum menerima gaji berbulan-bulan, bahkan ada yang menunggu haknya bertahun-tahun tanpa kepastian.

Di beberapa daerah, guru P3K dan honorer tetap mengajar meski gaji tak kunjung cair. Ada yang meninggal dunia sebelum haknya dibayarkan.

Mereka adalah wajah asli pengabdian, yang rela bertahan demi mencerdaskan bangsa meski hak dasarnya diabaikan.

Di titik inilah ironi efisiensi paling terasa: negara begitu cekatan mengurus tunjangan elit, tetapi gagap memenuhi hak tenaga pendidik.

Kebijakan efisiensi ala pemerintah hari ini tampak lebih sebagai slogan politik daripada instrumen reformasi.

Ia dijadikan legitimasi untuk menghapus tantiem komisaris, untuk menaikkan gaji hakim, atau untuk merangkapkan jabatan wakil menteri.

Semua dibungkus dengan dalih penghematan, padahal substansinya justru memperluas ruang bagi elit untuk mempertahankan posisi.

Efisiensi yang demikian bukanlah efisiensi yang berpihak pada rakyat, melainkan efisiensi yang melanggengkan status quo.

Padahal, setelah delapan puluh tahun kemerdekaan, bangsa ini seharusnya sudah mampu menetapkan prioritas dengan jelas: menyejahterakan rakyat, memperkuat pendidikan, memastikan keadilan sosial. Tetapi kenyataan justru berbanding terbalik.

Halaman
123
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved