Opini
Makna Merdeka dalam Pengelolaan Pajak
Pasal 23A UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Kedua, keadilan distribusi, di mana beban pajak dibagi secara adil sesuai kemampuan, sementara manfaatnya merata ke seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, akuntabilitas publik, yaitu kewajiban negara untuk menyampaikan secara terbuka ke mana pajak digunakan, dengan laporan yang dapat diakses dan diawasi publik.
Keempat, efisiensi penggunaan, memastikan setiap rupiah pajak digunakan tepat sasaran dan bebas dari pemborosan. Kelima, partisipasi masyarakat, yang berarti membuka ruang konsultasi publik dan dengar pendapat sebelum kebijakan pajak baru diberlakukan. Keenam, penguatan integritas, melalui pemberantasan korupsi di sektor perpajakan dan penegakan hukum yang konsisten.
Terakhir, pemanfaatan teknologi, dengan membangun sistem digital yang transparan dan terintegrasi untuk memudahkan pelaporan serta mengurangi potensi manipulasi. Prinsip-prinsip ini tidak hanya mengamankan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat hubungan saling percaya antara pemerintah dan rakyat.
Pajak yang dikelola dengan prinsip-prinsip tersebut akan benar-benar menjadi sarana gotong royong nasional yang mempersatukan.
Tantangan Kekinian
Globalisasi dan digitalisasi ekonomi membawa tantangan baru. Laporan State of Tax Justice 2024 mencatat bahwa secara global, perusahaan multinasional memindahkan rata- rata US$1,13 triliun per tahun ke surga pajak, menyebabkan kerugian pajak sekitar US$294 miliar.
Indonesia pun menghadapi tax gap akibat rendahnya kepatuhan dan praktik penghindaran pajak, sementara rasio pajak terhadap PDB stagnan di kisaran 11–12 persen. Pemerintah telah merespons dengan reformasi administrasi melalui Core Tax Administration System (CTAS) dan penerapan pajak minimum global 15 persen bagi korporasi besar.
Namun, teknologi hanyalah alat. Kunci keberhasilan tetap terletak pada kepercayaan publik—yang hanya akan tumbuh bila pengelolaan pajak transparan dan hasilnya benar-benar kembali ke rakyat. Selain itu, tantangan juga hadir pada level pajak daerah. Pertama, ketergantungan fiskal yang tinggi pada transfer pusat membuat banyak daerah belum mandiri dalam mengoptimalkan sumber pendapatannya.
Kedua, basis pajak daerah yang sempit—terutama di wilayah dengan aktivitas ekonomi rendah—membatasi ruang fiskal untuk membiayai pelayanan publik. Ketiga, tumpang tindih regulasi dan perbedaan tarif antar daerah dapat menghambat investasi dan mobilitas barang/jasa, apalagi ketika muncul kebijakan yang dinilai kontraproduktif oleh pelaku usaha.
Kasus di Kabupaten Pati menjadi contoh bagaimana kebijakan pajak daerah dapat memicu polemik dan resistensi publik. Ketika pemerintah daerah memberlakukan kebijakan pajak atau retribusi baru yang tidak dikomunikasikan dengan baik atau dianggap memberatkan sektor tertentu, kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak bisa menurun drastis. Dalam kasus Pati, polemik pajak/retribusi yang menyasar pelaku usaha tertentu memunculkan penolakan luas, memperlihatkan bahwa tanpa partisipasi
masyarakat dan transparansi, pemungutan pajak daerah dapat kehilangan legitimasi sosial, meskipun secara hukum sah. Keempat, kapasitas administrasi dan teknologi di daerah belum merata. Masih banyak daerah yang bergantung pada pencatatan manual, sehingga potensi kebocoran penerimaan dan ketidakakuratan data tinggi.
Kelima, tantangan pengawasan dan transparansi, di mana sebagian daerah belum menyediakan laporan realisasi pajak daerah secara terbuka dan mudah diakses publik. Terakhir, penarikan pajak berbasis digital—misalnya dari e-commerce lokal atau transportasi daring—masih memerlukan
regulasi dan infrastruktur yang kuat agar potensi penerimaan daerah tidak hilang ke wilayah lain atau ke pusat tanpa mekanisme bagi hasil yang adil.
Analisis Hukum dan Tata Kelola Pajak Daerah
Kasus di Kabupaten Pati menggambarkan dilema klasik dalam pemungutan pajak daerah: antara kewenangan yang sah secara hukum dan legitimasi sosial di mata rakyat. Secara normatif, Pasal 285 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UUHKPD) memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi sesuai dengan jenis yang telah ditetapkan.
Artinya, selama kebijakan pajak daerah mengikuti ketentuan UU HKPD dan Peraturan Daerah (Perda), secara hukum kebijakan tersebut sah dan mengikat. Namun, Pasal 23A UUD NRI 1945 dan prinsip good governance mengajarkan bahwa pemungutan pajak tidak cukup hanya berlandaskan legalitas formal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.